PENILAIAN DALAM KARYA SASTRA
A. Menilai Teks-teks Sastra
Luxemburg
dalam bukunya Pengantar Ilmu Sastra, menguraikan
bahwa ilmu sastra tidak menilai, tidak bertindak sebagai hakim, tetapi bersama
dengan para ahli estetika kita dapat mempelajari fakta dan relasi-relasi mana
diungkapkan dalam sebuah penilain. Bila kita mengatakan Ramayana merupakan karya sastra dunia terbaik, maka ucapan itu,
seperti penilaian, mengandung beberapa implikasi. Karena penilaian itu
membandingkan semua karya literer lainnya dianggap lebih rendah daripada Ramayana. Bila kita mengatakan Ramayana adalah karya Sansekerta
terbaik, maka perbandingan itu tidak terlalu jauh, tetapi memang diimplikasikan
suatu perbandingan dengan karya-karya Sansekerta lainnya.
Sebuah penilaian yang masuk akal
hendaknya memerhitungkan sejauh mana objek yang satu dapat dibandingkan dengan
objek yang lain. Perbandingan misalnya hendaknya dilakukan dalam batas suatu priode tertentu atau dalam batas
satu jenis sastra tertentu. Bila kita mengadakan perbandingan di luar batas satu priode atau jenis sastra,
maka baiknya dikatakan , butir-butir mana atau aspek-aspek mana yang ingin
dibandingkan. Syair Ramayana dalam
teks Sanskerta misalnya dapat dibandingkan dengan versi Jawa Kuno dalam Jawa
Modern. Dialog-dialog dalam karya seorang pengarang Inggris dari abad ke-17
dapat dibandingkan dengan dialog-dialog dalam karya Graham Greene misalnya.
Selain itu, kalau kita ingin mengadakan perbandingan atau penilaian, maka
seyogyanya diperhitungkan juga pandangan mengenai sastra yang dapat berubah dan
sidang pembaca yang disapa oleh seorang pengarang. Sebuah legenda dari zaman
dahulu jangan dibandingkan dengan cerita dongeng bagi anak-anak zaman sekarang.
Selaian itu, suatu penilaian selalu menimbulkan dua pertanyaan, kreteria mana
dipergunakan sang kritikus dalam penilaiannya. Dan alas an-alasan mana yang
diajukannya untuk mendukung penilaiannya.
Penilaian-penilaian
tidak tetap sama dari zaman ke zaman, sementara seniman tidak dihargai oleh
orang-orang sezaman dan baru di kemudian hari diakui kebesarannya. Ada pula
kurun-kurun waktu sebuah karya tertentu seolah-olah dilupakan. Karya-karya
sastra yang kini dianggap sebagai puncak-puncak kesastraan, dulu diremehkan. Hamlet karangan Shakespeare oleh
Voltaire dianggap tulisan seorang yang sedang mabuk, tetapi lima tahun kemudian
Victor Hugo menilai Shakespeare lebih tinggi daripada karangan-karangan Racine,
“dewa” drama di Perancis. Hallam, seorang kritikus Inggris dari awal abad ke-19
menulis tentang soneta-soneta Shakespeare, mengemukakan bahwa lebih baik
Shakespeare tidak pernah menulis sonata-sonetanya. Pada abad ke-19 penilaian
yang senegatif itu dianut oleh kebanyakan kritikus.
Perubahan
dalam penghargaan bahwa tidak ada seorang kritikus yang memiliki sifat-sifat
yang menjamin bahwa karya itu sepanjang masa akan dijunjung tinggi. Namun dapat
diduga bahwa karya-karya yang sering dan untuk jangka waktu yang cukup panjang
dinilai tinggi, mengandung unsur-unsur dan struktur-struktur yang pantas
dinilai tinggi. Tetapi sampai sekarang tak ada seorang pun untuk karya apa pun
yang mengajukan alasan-alasan yang meyakinkan, bahwa karya itu memiliki
struktur-struktur dan unsur-unsur yang harus dinilai tinggi untuk
selama-lamanya.
Sementara
itu, perubahan dalam penilaian tentu saja berkaitan dengan perbedaan dalam
keadaan sosial dan historik masyarakat umum dan dengan pandangan mengenai sastra
yang berubah. Aliran Romantik menolak soneta-soneta Shakespaere karena aliran
tersebut suka yang alami dan spontan, padahal soneta Shakespaere tersusun
dengan berbelit-belit. Penghargaan yang berubah dapat juga disebabkan karena
penafsiran baru yang dapat dilakukan terhadap salah satu karya tertentu.
Perbedaan
dalam penilaian tidak hanya terjadi dari zaman ke zaman, tetapi dalam kurun
waktu yang sama kelihatan juga antara pembaca-pembaca dari berbagai aliran.
Keyakinan pribadi, sosial, relegius, dan politik dapat menyebabkan perbedaan
dalam penilaian. Lagu-lagu perjuangan
dari Amerika Selatan dinilai tinggi oleh kaum cendekiawan kiri. Selain itu
perubahan dalam pandangan mengenai sastra ada pengaruhnya. Bila kita perpedoman
pada fiksionalitas sastra, maka lagu-lagu perjuangan tidak akan dinilai tinggi. Kritisi yang
menjunjung tinggi kesatuan logik dalam sebuah karya sastra pasti tidak suka
akan prosa eksperimental.
B.
Kreteria dalam Penilaian
Dalam
buku Pengantar Ilmu Sastra, Luxemburg
menjelaskan bahwa suatu penilaian diberikan berdasarkan kreteria. Seringkali
kreteria itu diungkapkan, tetapi kadang-kadang dapat kita lacak kembali,
kreterium mana yang dianut. Penilaian terhadap suatu karya sastra juga
dipengaruhi oleh pandangan seseorang
mengenai fungsi sastra. Fungsi yang berlainan pula menimbulkan kreteria lain atau memengaruhi
hirarki kreteria, mana yang paling dipentingkan.
Berkaitan
uraian Luxemburg, Pradopo sementara itu menguraikan bahwa kritik sastra adalah
pertimbangan baik buruk karya sastra, pertimbangan bernilai baik tidaknya.
Dalam kata pertimbangan terkandung arti memberi nilai. Sebab itu, dalam kritik
sastra tak dapat ditinggalkan pekerjaan menilai. Karya sastra adalah termasuk
karya seni dan di dalamnya sudah mengandung penilaian seni. Dan kata seni itu
berhubungan dengan pengertian “indah”
atau “keindahan”.
Tepatlah
apa yang diungkapkan oleh Rene Wellek bahwa kita tidak dapat memahami atau
menganalisis karya seni tanpa menunjuk kepada nilai, karena kalau kita
menyatakan suatu sruktur sebagai karya seni, kita sudah memakai timbangan
penilaian. Dengan begitu, jika kita mengeritik karya sastra tanpa penilaian,
maka karya sastra yang kita kritik tetap tidak dapat kita pahami baik-buruknya,
atau berhasil tidaknya sastrawan mengungkapkan
pengalaman jiwanya.
Membicarakan
atau menganalisis karya sastra tanpa pembicaraan penilaian menjadi kehilangan
sebagian artinya, kehilangan “rasanya” karena di dalam karya sastra yang
menarik adalah sifat seninya, dan sifat estetik hanyalah yang dominan pada
karya sastra. Sebab itu, membicarakan karya sastra sebagai karya seni harus
disertai penilaian, karena kritik sastra tidak dapat dipisahkan dengan
penilaian.
Berkaitan
dengan penilaian, maka timbullah berbagai pertanyaan, “Bagaimanakah karya sastra
yang bernilai?”; syarat-syarat apakah yang harus dipenuhi supaya karya sastra
dapat dikatakan bernilai? Untuk menjawab
pertanyaan ini kita harus menghubungkan arti dan hakikat karya sastra serta
fungsinya. Suatu nilai tidak dapat dipisahkan dari hakikat dan gunanya. Sering
hal ini menyebabkan orang menilai karya sastra menyimpang dari hakikat dan
fungsi karya sastra, atau melakukan kepalsuan dalam menilai karya sastra
sebagai karya seni, hanya menjadi alat propaganda, yang sama nilainya dengan
teks pidato.
Hadimadja
(1952) mengemukakan bagaimana H.B. Jasssin menyaring sajak-sajak yang
diterimanya, maka syarat pertama yang dilakukan ialah kepada keindahan, kemudian pada moral. Baik keindahan maupun moral
keduanya subjektif. Oleh karena itu, menurut Hadimadja berkaitan penerimaan
H.B.Jassin menjawab bahwa “sebuah keindahan seni biasanya tidak perlu menuntut
pengertian yang diletakkan dalam hasil seni itu. Apabila keindahan terasa,
cukuplah bagi si pendengar atau si peninjau untuk menerimanya. Akan tetapi bila
pengertian itu didapatnya, maka lebih senanglah dia”.
Dalam
menjawab bagaimana baik buruknya sajak, Hadimadja menggunakan perasaan intuitif
sehingga tidak ada ketentuan apakah
dasar-dasar konkret untuk menentukan indah tidaknya karya sastra. Hadimadja tidak menganalisis hubungan nilai,
hakikat sastra, dan fungsi seni sastra sehingga jawabannya sangat subjektif dan
tidak jelas. Padahal hubungan nilai, hakikat sastra, dan fungsi sangat penting
dalam menilai karya sastra, sebagaimana yang dinyatakan oleh Rene Wellek bahwa
“bagaimana orang menilai dan menentukan nilai sastra? Harus kita jawab dengan
definisi-definisi. Seharusnya orang menilai seni sastra apa adanya; dan
menaksir nilai itu menurut kadar sastra, hakikat, fungsi, dan penilaian erat
hubungannya.”
Untuk
mengetahui apakah hakikat seni sastra, Pradopo menjawab bahwa kita terlebih dahulu meninjau definisi sastra. Adapun definisi sastra yang
dikutip oleh Pradopo dalam bukunya Prinsip-prinsip
Kritik Sastra, sebagaimana berikut ini.
1. Sastra
(castra) dari bahasa Sansekerta yang artinya tulisan atau bahasa yang indah:
yakni hasil ciptaan bahasa yang indah. Jadi kesusastraan ialah pengetahuan
mengenai hasil seni bahasa perujudan getaran jiwa dalam bentuk tulisan (Gazali,
1958). Sementara itu, arti seni bagi Gazali ialah segala sesuatu yang indah.
Keindahan yang menimbulkan kesenangan yang dapat menggetarkan sukma, yang
menimbulkan keharuan, kemesraan, kebencian, atau peradangan hati, gemas, dan
dendam.
2. Kesusastraan
= kumpulan buku-buku yang indah bahasa dan baik isinya. Oleh karena itu,
kesusastraan itu adalah seni bahasa yang meliputi (a) kepandaian seni yang
dipergunakan orang, jika ia hendak menyatakan yang seni, indah, dan permai
dengan bahasa sebagai alatnya
(Simorangkir, 1959).
3. Hasil
pekerjaan pengarang dan penyair itu dinamakan kesusastraan atau seni sastra.
Kesusastraan adalah cabang dari kesenian dan kesenian seperti itu kita maklum
bagian dari kebudayaan. Di samping itu, kesusastraan pokok katanya sastra
(castra. Skt) = tulisan atau bahasa; su (Skt); indah, bagus . . . susastra =
bahasa yang indah, maksudya hasil ciptaan bahasa yang indah atau seni bahasa.
Kesusastraan mendapat awalan dan akhiran (ke-an). Yang dimaksud dengan
kesusastraan ialah hasil kehidupan jiwa yang terjelma dalam tulisan atau bahasa
tulis yang menggambarkan atau mencerminkan peristiwa kehidupan masyarakat atau
anggota masyarakat.” ( Usman, 1960).
4. Kesusastraan
atau kesenian bahasa atau seni sastra adalah “kesenian” suatu bangsa dalam
melahirkan pikiran, perasaan, dan kemauan dengan bahasa sebagai alatnya.
Kesenian adalah keindahan-keindahan yang terkandung atau tersembunyi di dalam
“kebudayaan” dan berjiwa kecantikan.” (Suparlan, 1959). Di samping itu Suparlan
membagi kesusastraan menjadi dua bagian, yaitu kesusastraan umum dan
kesusastraan khusus Kesusastraan umum adalah “pendek, segala buah pikiran, buah
pena yang berwujud cerita dongeng, surat-surat, isi kitab ilmu pengetahan yang
sudah menjadi milik satu bangsa”; kesusastraan khusus, yang mempergunakan
bahasa kesusastraan, ialah bahasa yang indah, bahasa pilihan dapat membuat
pembacanya atau pendengarnya terharu, baik karena pilihan-pilihan susun katanya
maupun disebabkan susunan jiwa kalimat-kalimatnya.
5. Kata
kesusastraan adalah kata pinjaman. Diambil dari bahasa Sanskerta. Artinya:
segala yang tertulis yang menerbitkan rasa senang disebabkan keindan kata-kata
dan susunannya serta ketepatannya dengan yang diperkatakan. Bahasa yang
tertulis itulah kesusastraan, tetapi tidak semua bahasa tulis dinamakan
kesusastraan, yang isinya merupakan ilmu pengetahuan tidak termasuk
kesusastraan. Warta berita yang serupa dengan itu pun tidak termasuk
kesusastraan. Kata seni menunjukkan bahwa pemakaian bahasa harus berkesan
keindahan bagi si pembaca atau si pendengar (Sitompul, 1954).
6. Dalam
Theory of Literature, Rene Wellek
mengemukakan ada tiga definisi, pertama,
seni sastra ialah segala sesuatu yang dicetak; kedua, seni sastra terbatas pada buku-buku yang terkenal, dari
sudut isi dan bentuknya. Artinya definisi ini bercampur dengan penilaian, dan
penilaian itu hanya didasarkan pada segi estetiknya saja atau segi
intelektualnya saja; ketiga, Rene
Wellek mengatakan agaknya lebih baik jika isilah “kesusastraan” dibatasi pada
seni sastra yang bersifat imaginative,
sifat imaginative ini menunjukkan dunia anagan dan khayalan hingga kesusastraan
berpusat pada epik, lirik, dan drama karena ketiganya itu yang ditunjuk adalah
dunia angan. Dengan begitu, kesusastraan mengakui adanya sifat fictionaly, (sifat menghayalkan), invention (penemuan atau penciptan), dan
imagination (mengandung kekuatan
menyatukan angan untuk mencipta) sebagai hakikat seni sastra. Fictionaly di sini menunjukkan dunia
khayalan, artinya dunia yang adanya hanya karena khayalan sastrawan, bukan
dunia yang nyata, yang sungguh-sungguh ada. Invention,
menunjukkan pengertian adanya penemuan-penemuan yang baru akibat pengkhayalan,
jadi ini adanya keaslian cipta. Sedangkan imagination
menunjukkan adanya daya mengangankan dan menyatukan sesuatu yang baru, yang
asli, untuk menghasilkan dunia angan. Karya sastra dengan begitu, Rene Wellek
mengungkapkan ialah karya-karya yang
fungsi estetiknya dominan.
Karya
sastra yang bermutu seni adalah kaya sastra yang imaginatif dan yang seni.
Dalam arti karya sastra yang bermutu ialah karya sastra yang banyak menunjukkan
adanya penciptaan-penciptaan baru (kreativitas) dan keaslian cipta, di samping
itu yang bersifat seni. Sementara ini dipergunakan istilah “seni” bukan kata
“indah”, karena pada zaman sekarang pemakaian kata “indah” itu rasanya tidak
cocok dengan keadaan kesusastraan sekarang, kemudian keindahan itu bukan lagi
tujuan penciptan sastra. Oleh karena itu, Herbert Read berpendapat bahwa : . .
. karena seni tidak perlu indah; hingga tak dapat dikatakan begitu diributkan.
Apakah kita menilai persoalan itu menurut sejarah, maupun secara
kemasyarakatan, kami dapati bahwa seni sering tidak punya keindahan atau bukan
barang yang indah.”
Demikian
pula apa yang dikatakan oleh Leo Tolstoy bahwa keindahan (beauty) bukan tujuan seni, karena “ . . . orang akan sampai kepada
pengertian bahwa arti makan terletak pada pemberian zat-zat makanan pada tubuh,
hanya bila mereka tidak menganggap lagi bahwa objek dari aktivitas tersebut
adalah kesenangan. Dan ini sama halnya dengan kesenian. Orang akan sampai
kepada pengertian arti seni hanya bila mereka berhenti menganggap bahwa tujuan
aktivitas itu adalah keindahan, ialah kesenangan. Pengakuan keindahan ialah
sebagai tujuan seni, tak hanya menganggalkan kita untuk mendapatkan jawaban
apakah seni itu, tetapi sebaliknya dengan memindahkan pertanyaan itu ke daerah
lain yang sangat berlainan dengan seni, tak mungkin hal itu memberikan definisi.”
Dengan demikian, indah menurut sementara pendapat sudah tidak dapat dipakai
sebagai kreteria karya seni (sastra) karena itu lebih baik dipakai kata atau
istilah “seni” untuk menyatakan sifat-sifat estetik karya sastra.
Arti
indah tidak dapat meliputi atau mencakup keseluruhan arti seni karena dalam
pengertian seni ada unsur lainnya, yaitu pengalaman jiwa yang bersifa “seni”
juga, karena dapat berhasil diungkapkan dengan indah. Untuk pengalaman jiwa
yang seni ini biasanya disebut sublim atau
agung. Jadi, dalam perkataan seni itu
terkandung arti indah dan agung, besar atau sublim. Sebagaimana yang dikatakan
oleh Tjernisvcki bahwa jika estetika dimaksudkan ilmu seni, maka sudah tentu ia
harus berbicara tentang sublim karena daerah seni meliputi kesubliman. Sublim
menurut Tjernisvcki keindahan dan kesubliman adalah dua pengertian sama sekali berbeda yang memiliki ciri-ciri
“lebih besar dan lebih kuat”. Memang
sering para ahli estetika kesubliman itu disatuartikan dengan keindahan,
disebut difficult beauty, dan di
samping itu ada easy beauty (keindahan mudah) didapat dari bahan yang mudah
(bunyi indah, kenangan indah, dan sebagainya), dan difficult beauty (sublimes, keindahan sukar) atau keindahan yang
mengandung, kesakitan, keburukan (Rene Wellek, 1978).
Berdasarkan
beberapa pendapat tentang apa itu kesusastraan, apa itu indah dan seni, maka
dalam hal ini jawaban yang ditawarkan
bahwa karya sastra bernilai seni bila di dalamnya terdapat sifat seni,
yaitu yang mengandung keindahan dan kesubliman. Sifat indah, sublim dan besar
itu kian banyak yang terdapat dalam karya sastra, dan kian banyak menunjukkan
daya cipta dan keaslian cipta, maka makin tinggi nilai seninya. Sementara
menilai karya sastra berdasarkan fungsinya, haruslah dipakai kreteria
hakikatnya yaitu menyenangkan dan berguna. Hal ini sejalan apa yang diuraikan
oleh Darma bahwa Horace (baca Horatius) menganggap, karya seni yang baik,
termasuk sastra selalu memenuhi dua kreteria, yaitu dulce et utile (rasa
nikmat dan manfaat atau kegunaan). Tentu saja kenikmatan ini hanya dimiliki
oleh pembaca yang bermutu. Sastra harus memberi manfaat atau kegunaan, yaitu
kekayaan batin, wawasan kehidupan (insight
into life), dan moral.
Masalah
moral akhirnya menimbulkan berbagai pertanyaan yang ujungnya menyangkut kreativitas.
Pengarang menulis tidak lain untuk menciptakan karya sastra yang estetis.
Sementara itu, pembaca yang kritis akan merasa digurui. Moral dengan demikian,
dapat mengurangi nilai estetis, dan karena itu mengganggu kenikmatan pembaca.
Sebagai
contoh, tengoklah novel Sutan Takdir
Alsyahbana Layar Terkembang. Novel
ini menuai berbagai kritik, karena moral novel ini sangat jelas; semua bangsa
Indonesia, khususnya pemuda dan pemudi harus berpikir ke depan, ke dunia barat
yang maju. Karena itulah, novel ini dianggap sebagai “esai berbaju novel”.
Pengertin esai di sini tidak lain adalah khotba.
Dalam
jangka panjang tampak bahwa nilai estetika novel Armijn Pane Belenggu lebih menonjol daripada Layar Terkembang. Belenggu tidak
menggurui, sedangkan Layar Terkembang
menggurui. Bukan hanya itu. Berbeda dengan Layar
Terkembang, Belenggu tidak
membawakan moral yang baik.
Dalam
Belenggu tampak kehidupan keluarga
yang bobrok. Tokoh-tokoh utamanya bukanlah orang-orang yang bersih. Tono, sang
suami, menyeleweng dengan seorang perempuan bernama Rohaya, sementara Tini, istrinya, patut diragukan
keperawanannya ketika menikah dengan Tono. Sebagai seorang yang berpikiran
modern dengan orientasi Barat, Tono dapat menerima Tini dengan baik, tanpa
memertimbangkan masa lalu Tini. Ketika sudah menjadi istri Tono, Tini pernah
pula berhubungan dengan mantan kekasihnya dulu. Perkawinan akhirnya buyar.
Dari
segi moral. Belenggu benar-benar
negatif. Namun justru moral negatif inilah nilai estetik Belenggu lebih baik daripada
Layar Terkembang. Nilai kontemplatif Belenggu lebih tinggi, dan karena itu
sampai sekarang Belenggu masih
diperbincangkan dengan semangat tinggi, sementara Layar Terkembang hanya dicatat sebagai sebuah bagian sejarah
sastra.
Karya
Tolsytoy juga mengalami masalah yang sama, sesuai dengan konsep kreatvitasnya.
Pada waktu masih muda, dia hidup bergelimang dalam dunia keduniaan. Novel-novel
puncaknya, antara lain Perang dan Damai
dan Anna Karenina ditulis tidak memikirkan masalah moral.
Cerpen
Tolstoy “Tuhan Tau, Tapi Menunggu’ menandai bagian tengah perjalanan hidupnya.
Dia masih mementingkan dunia duniawi, namun sudah mulai masuk ke dunia rohani.
Moral dalam cerpen ini juga meragukan; seorang yang begitu tulus mulia hatinya
harus kehilangan segala-galanya, dan mati dengan stigma sebagai pembunuh.
Mungkin dalam cerpen ini Tolstoy
memikirkan masalah kehidupan sesudah mati: kebahagiaan sebenarnya tidak
terletak dalam kehidupan sehari-hari, namun akan datang setelah seseorang
memasuki alam kubur.
Bagian
ketiga kehidupan Tolstoy membawa warna yang jauh berbeda. Dia menjadi sangat
relegius dan karya-karyanya berubah menjadi semacam khotbah keagamaan. Semua
karyanya pada bagian ketiga hidupnya ini dianggap sebagai khotbah belaka, dan
karena itu tidak dianggap sebagai karya sastra yang baik.
Dalam
semua novel-novel Jane Austen, sementara itu, tampak dengan jelas bahwa kerja
paling berat dalam menulis baginya tidak lain adalah memadukan nilai-nilai
estetika dan nilai-nilai moral. Semua tokohnya harus menarik, dan untuk
benar-benar dapat menarik, nilai-nilai moral harus dilanggar. Dia berhasil
dengan baik karena dia akhirnya sanggup memadukan tuntutan estetika dan
tuntutan moral.
Keberhasilan
Jane Austen dan pengarang lain dalam mengatasi dilema tuntutan estetika dan
tuntuan moral melahirkan kreteria lain, yaitu bentuk atau form dan isi atau content
harus seimbang. Bentuk adalah cara atau teknik menulis, sedangkan isi adalah
pemikiran yang akan dituangkan dalam karya sastra. Bentuk yang terlalu baik
akan melahirkan karya sastra yang kosong, sedangkan isi yang baik tanpa
diimbangi oleh bentuk yang tepat akan melahirkan karya sastra yang menggurui.
Salah
satu bagian bentuk adalah bahasa yang baik dengan isi yang tidak bermutu akan
melahirkan retorika kosong belaka. Kesukaran pemakaian bahasa ini dialami oleh
semua penulis, khususnya penyair. Perjuangan penyair untuk menyusun bahasa pada
hakikatnya identik dengan perjuangan untuk menyampaikan gagasan berbobot
tinggi.
Moral
sementara itu, masuk pada bagian isi. Perimbangan yang baik antara bentuk dan
isi, dengan demikian, menyangkut masalah moral. Namun dalam sastra modern ada
kecenderungan untuk mengabaikan moral, sebagaimana yang tampak dalam Belenggu. Karena itu, dalam
perkembangannya, isi cenderung hanya berupa pemikiran yang belum tentu ada
kaitanya dengan moral.
Isi
dengan sendirinya tidak lepas dari konsep pengarangnya. Konsep ini tampak
antara lain dalam aliran masing-masing pengarang. Sajak-sajak William
Wordsworth, misalnya, selalu dipenuhi oleh bahasa sehari-hari serta pemujaan
terhadap alam sebagai penuntun kehidupan manusia. Semua sajaknya sesuai dengan
aliran dia, yaitu romantise. Teodore Dreiser, sementara itu, selalu
menggambarkan dunia kelas bawah yang ambisius dan akhirnya gagal mencapai
kebahagiaan, tidak lain karena dia penganut aliran naturalisme.
Dalam
perkembangan berikutnya, isi dapat pula identik dengan ideologi politik,
sebagaimana yang tampak dalam sajak para penyair Lekra. Semua sajak mereka
tidak lain adalah alat untuk memerjuangkan komunisme. Makna ideologi dapat
meluas, antara lain menyangkut masalah agama dan kepercayaan, sebagaimana
misalnya sastra Islam, sastra sufi, dan lain-lain.
E.M.
Foster, seorang novelis dan teoritikus sastra, dalam Asects of the Novel antara lain menulis mengenai cerita dan plot, serta tokoh dan penokohan. Cerita adalah sebuah peristiwa yang diikuti oleh peristiwa lain,
kemudian diikuti oleh peristiwa lain lagi, dan demikianlah seterusnya. Plot, sementara itu, rangkaian peristiwa
yang diikat oleh sebab-akibat.
Contoh
cerita, Dia kemarin berangkat dari
rumah ke kantor jam 7.00 pagi, sampai di kantor jam 8.00 pagi, kemudian dia
langsung bekerja sampai jam 12.00, lalu beristrahat makan siang sampai jam
13.00, melanjutkan pekerjaannya sampai jam 17.30, lalu dia pulang, sampai di
rumah dia membaca Koran sebentar, lalu mandi, dan seterusnya.
Contoh
plot, Raja sakit, karena itu dokter
segera dipanggil. Namun ternyata dokter tidak sanggup menyembukan raja, dan
karena itu dipanggillah dokter terkenal dari luar negeri. Ternyata dokter
inipun tidak sanggup menyembuhkan raja. Sakit raja makin parah, dan karena itu
Ratu makin sedih. Pada suatu hari, setelah melalui masa-masa kritis, Raja pun
wafat Ratu bertambah sedih, dan akhirnya Ratu pun meninggal pula.
Demikianlah
perbedaan antara cerita dan plot dalam teori, kendati dalam praktek cerita
dapat bermakna karya sasta, dapat pula berarti plot. Namun, menurut teori,
karya sastra yang baik bukan sekedar cerita, tapi plot. Antara satu peristiwa
dan peristiwa lain diikat oleh hukum sebab-akibat.
Kunci
penting sebab akibat tidak lain adalah konflik,
dan kunci penting konflik adalah tokoh dan penokohan. Sebagaimana halnya manusia
dalam kehidupan sehari-sehari masing-masing tokoh mempuyai watak
sendiri-sendiri dan kadang-kadang bertentangan satu sama lain. Perbedaan watak
inilah yang memicu timbulnya konflik, apalagi watak-watak itu saling
bertetangan.
E.M.
Forser membagi tokoh menjadi dua, yaitu tokoh bulat atau roud character dan tokoh pipih atau flat character. Tokoh bulat mempunyai kemampuan untuk berubah,
belajar dari pengalaman, dan menyesuaikan diri dengan keadaan. Konflik pada
umumnya tercipta oleh interaksi antara satu tokoh bulat dan toh bulat lainnya.
Tokoh pipih sebaliknya, tidak mempunyai kemampuan untuk berubah, belajar dari
pengalaman, dan menyesuaikan diri dengan keadaan. Mulai dari awal sampai akhir
tokoh pipih tidak mengalami perubahan watak sama sekali.
Dalam
sastra dunia ada tokoh-tokoh yang tampaknya tidak dapat beruba, namun pada
hakikatnya berubah. Tokoh sentral
tragedi Shakespeare Macbeth, misalnya, sejak awal sampai akhir tetap serakah
dan kejam. Namun titik berat keserakahan dan kekejamannya terletak pada sifat
buruk dia, yaitu ambisi yang berlebihan. Dia ingin menjadi raja, dan karena itu
semua orang dianggap dapat menghalangi keinginannya harus dimusnahkan.
Ambisi Macbeth baru tampak ketika tiga peri
meramalkan dia akan menjadi raja pada suatu saat kelak. Seandainya ia tidak
pernah bertemu dengan tiga peri itu, ambisinya akan tetap berkobar, kendati
mungkin dengan bentuk dan proses lain. Lalu, dengan cerdik, namun juga licik,
bersama dengan istrinya dia membuat rencana dengan cermat untuk menghabisi semua
pihak yang dapat menghalangi ambisinya. Tindakan dia bersama istrinya untuk
membunuh mereka menunjukkan bahwa dia belajar dari keadaan, dan karena itu dia
bukan tokoh pipih.
Sebagai
ekoran teori E.M. Forster, berkembanglah berbagai macam kreteria untuk
menentukan apakah tokoh bulat dari segi estetika sastra dapat dianggap baik
atau tidak. Dapat diambil kesimpulan, tokoh bulat yang baik harus konsisten dari setiap perubahn dan harus mempunyai motivasi yang
kuat untuk berubah. Konsistensi dan motivasi Macbeth terletak pada
ambisinya, dan ambisi inilah salah satu kunci kekuatan dia sebagai tokoh bulat.
Tanpa
interaksi tokoh satu dengan tokoh lain, sekali lagi konflik tidak akan
tercipta. Karena konflik merupakan bagian integral yang harus ada, maka sebagai
ekoran dari teori E.M. Forster lahirlah berbagai kreteria untuk menilai apakah
sebuah konflik itu baik atau tidak. Dari berbagai kreteria itu dapat
disimpulkan bahwa konflik yang baik adalah konflik
delematis, tokoh berhadapan dengan dilemma yang bernar-benar tidak memberi
kesempatan untuk melarikan diri.
Contoh
konflik yang sangat baik dalam sastra dunia tampak dalam drama tregedi Yunani
Kuno Antine, karya Sophocles. Dalam drama tragedi ini Raja Creon dari Thebes
dikisahkan mempunyai dua anak laki-laki dan dua anak perempuan. Dua anak
laki-laki ini bermusuhan dalam perang saudara dan akhirnya dua-duanya tewas.
Oleh Creon salah satu anaknya yang lain
dianggap pengkhianat. Mayat anak yang dianggap pahlawan harus dimakamkan dengan
upacara kebesaran, sedangkan mayat anak yang dianggap pengkhianat harus
dilemparkan ke padang terbuka untuk menjadi makanan burung-burung liar, tanpa
upacara sama sekali.
Antigone
anak perempuan tertua, menganggap bahwa dua saudara laki-lakinya dimakamkan
dengan layak, dan karena itu dia mempersiapkan sebuah upacara pemakaman untuk
menghormati abangnya yang mayatnya akan dibuang ke padang terbuka. Creon
melarang, namun dia tetap pada pendiriannya. Konflik delematis harus dihadapi
Antigone: kalau dia menuruti kehendak ayahnya, salah satu mayat abangnya akan
dinistakan, kalau dia melanggar perintah ayahnya dia akan dihukum mati.
Konsistensi
dan motivasi Raja Creon amat jelas, demikian pula konsistensi dan motivasi
Antigone. Sebagai tokoh-tokoh bulat, Raja Creon dan Antigone sangat memenuhi
persyaratan estetika sastra. Konflik dalam drama tragedi juga tinggi nilai estetika sastranya karena
dilemma Antigone benar-benar tidak mungkin diatasi kecuali dengan kompromi, dan
dia menolak untuk kompromi.
Sebagai
konsekuensi keharusan adanya konflik, muncul tuntutan lain, yaitu klimaks
sebagai penentu penutup plot. Makin tinggi nilai estetik sebuah karya konflik,
makin tinggi pula nilai estetika sastra. Karena klimaks memegang kunci penutup
plot, maka karya sastra dengan konflik yang baik an klimaks yang baik juga akan
memunyai penutup yang baik.
Contoh
klimaks yang baik tampak antara lain dalam cerpen Gu de Maupassant, “Kalung”. Mathilda, tokoh sentral dalam
cerpen ini, bukanlah seorang yang kaya, namun terkenal rupawan dan selalu
berpenampilan menarik. Gaji suaminya juga biasa-biasa saja. Merasa kurang
beruntng karena tidak mungkin hidup mewah, dia bersaha keras untuk bergaul
dengan kelas atas, sebuah kelas yang sebetulnya berada di luar jangkauanya.
Dengan
segala daya upaya, akhirnya dia memeroeh undangan untuk menghadiri sebuah pesta
mewah sebuah keluarga kelas atas.
Supaya dalam pesta itu tampak
anggun, dia meminjam sebuah kalung. Dengan menganakan kalung pinjaman itu,
datanglah dia ke pesta, dan, sesuai dengan harapnnya, semua orang mengagumi
keanggunannya.
Namun
tanpa diduga, kalung itu hilang. Sebagai seseorang yang berpenampilan anggun
dan tampak kaya, dengan sendirinya dia tidak mau megakui kepada pemilik kalung
bahwa dia telah menghilangkan kalungnya. Diam-diam hutang ke sana ke mari untuk
membeli sebuah kalung yang sangat mahal untuk dikembalikan kepada pemiliknya.
Sementara
untuk mengembalikan hutang-hutangnya dia harus bekerja siang dan malam selama
bertahu-tahun, sekarang dia tampak sangat tua, kulitnya berkeriput, dan
tubuhnya kurus kering. Secara kebetulan, pada suatu hari pemilik kalung melihat
dia sedang bekerja keras menyapu di pinggi jalan. Kendati dia sudah banyak
berubah, akhirnya pemilik kalung mengenalinya kembali.
Pemilik
kalung bukan hanya terperana menyasikan penampilannya sekarang, namun juga
kisahnya mengenai mengapa Mathilda sampai menderita seperti ini. Kalung dahulu
itu sebetulnya hanyalah imitasi, bukan kalung yang sebenarnya. Karena itu,
ketika Mathilda dulu mengembalikannya kepada pemiliknya, pemiliknya tampak
tidak begitu peduli. Demikianlah, Mathilda telah menyengsarakan dirinya sendiri
karena menyangka bahwa kalung itu dulu asli, dan untuk memertahankan
martabatnya, dia terpaksa menggantinya dengan kalung asli yang sangat mahal.
Klimaks
terjadi ketika kalung hilang, seandainya kalung tidak hilang, penutup plot
tentu akan berbeda. Klimaks sementara itu, sebagai ekoran dari penokohan
yang baik dan konflik yang baik, merupakan salah satu kreteria untuk menentukan
apakah sebuah karya sastra mutu estetiknya dapat dipertanggungjawabkan atau
tidak.
Ada
satu hal penting lain bagi penutup plot cerpen ini, yaitu surprice. Marthilda dan pembaca sama sekali tidak
menduga bahwa kalung itu hanyalah imitasi, dan karena itu, baik Martilda maupun
pembaca terkecoh. Sementara itu, pemilik kalung juga sama sekali tidak menduga
bahwa kalung yang dikembalikan Martilda benar-benar asli dan harganya mahal
sekali.
Tokoh
bulat,
konflik,
dan klimaks,
merupakan tuntutan yang harus dipenuhi oleh sebuah karya sastra yang baik,
namun surprise, bukan merupakan tuntutan mutlak. Apakah sebuah
surprise dapat menambah nilai estetika atau tidak terpulang kepada hakikat
masing-masing karya sastra. Beberapa contoh justru menunjukkan bahwa surprise
merupakan kelemahan karya sastra.
Salah
satu contoh surprise yang justru memerlemah karya sastra tampak dalam
cerpen Edith Wharton, “Demam Roma”.
Pada penutup plot baik pembaca maupun salah satu tokoh dalam cerpen ini, Elida
Slade, baru menyadari bahwa anak perempuan sahabat karibnya, Grace Ansley,
tidak lain adalah anak kandun Elida Slade sendiri. Surprise di sini hanya berfungsi untuk memberi kejutan
kepada Elida Slade dan pembaca, tanpa fungsi lain yang lebih berbobot.
Menurut Kuntowijoyo, salah satu kelemahan sastra
Indonesia adalah lemahnya konflik. Pengarang tidak mampu menciptakan konflik
yang bermakna, tidak lain karena pengarang adalah produk masyarakat Indonesia,
sementara masyarakat Indonesia cenderung menghindari konflik sehingga berbagai
masalah yang seharusnya dapat diselesaikan tidak pernah terselesaikan dan
dibiarkan berlarut-larut sampai hilang dengan sendirinya.
Contoh konflik yang lemah tampak dalam novel Nh. Dini, Namaku Hiroko. Tokoh sentral novel ini,
Hiroko adalah seorang gadis desa, melarat, namun cantik. Tujuan hidupnya hanya
satu, yaitu hidup dengan mudah, mempunyai banyak uang, tanpa bekerja keras. Dia
sama sekali tidak memunyai pertimbangan moral. Ketika dia menyerahkan diri
kepada sekian banyak lelaki untuk mendapatkan uang, dengan sendirinya dia sama
sekali tidak mengalami konflik batin.
Seandainya Hiroko mempunyai prinsip moral yang sangat
kuat, tentu tudak akan mau menyerahkan diri pada laki-laki yang akan
menjadikannya perempuan simpanan. Kalau dipaksa untuk menjadi perempuan
simpanan tanpa kemampuan untuk melawan, pasti dia akan dilanda oleh konflik
batin yang amat hebat. Karena Hiroko tidak mengalami konflik maka klimaks dan
penutup plot yang bermakna pun tidak ada.
Manun, karena pengarang adalah produk masyarakat,
sedangkan masyarakat sendiri adalah produk kebudayaan, kreteria untuk
menentukan nilai estetis sastra Indonesia khususya dan sastra Asean pada
umumnya, juga berbeda. Kreteria estetika Indonesia ditentukan oleh kebudayaan
Indonesia sendiri, tidak selamanya terikat oleh kebudayaan di luar Indonesia.
Konflik dalam karya sastra tidak perlu keras karena kebudayaan Indonesia
sendiri berusaha untuk menghindari konflik.
Kembali kepada kreteria dalam penilaian yang digagas oleh
Luxemburg bahwa pada dasarnya sama yang digagas oleh Darma, perbedaannya
terletak pada ulasan, kendati arah dan tujuan sama. Menurut Luxemburg
1.
Ada
kreteria yang mengaitkan karya sastra dengan pengarangnya. Ini nampak dalam
kreteria ekspresivitas: sebuah karya adalah baik bila pribadi dan emosi
pengarang diungkapkan dengan baik. Juga dalam kreterium intensi: sebuah karya
adalah baik bila intensi (maksud) pengarang diungkapkan dengan baik atau selaras
dengan norma-normanya. Bila fungsi sastra dipusatkan pada pengungkapan emosi,
seperti yang dilakukan oleh Romantik, maka keterium ekspresivitas akan
dipentingkan dalam menilai sastra.
2.
Kreteria
yang mengaitkan karya sastra dengan kenyataan yang ditiru atau tercermin di
dalamnya: kreterium realisme atau mimesis, sebuah karya yang dinilai
baik bila kenyataan diungkapkan dengan tepat, lengkap atau secara tipikal
(menampilkan ciri-ciri yang khas). Bila seorang kritikus mengharapkan dari
sastra, supaya kenyataan diperjelas, maka kreterium inilah yang dipergunakan
atau yang diutamakan. Pandangan ini juga berpengaruh bila diharapkan agar
sastra secara tidak langsung memantulkan kenyataan. Kreteium ini berkaitan juga
dengan kreteria kognitif yang mengukur mutu sebuah karya sastra sekedar dengan
pengetahuan yang disampaikan.
3.
Kreteria
yang langsung mengaitkan pendapat pihak kritikus dan karya sastra. Seorang
kritikus dapat mempergunakan kreteria politik, relegius atau moral. Sebuah
karya dinilai baik bila karya itu mengambil sikap yang diharapkan oleh
kritikus, atau bila karya itu menyoroti situasi-situasi yang dianggap penting
oleh pihak kritikus, sekalipun itu tidak ditekankan oleh pengarang sendiri.
Kreteria itu dijunjung tinggi bila fungsi sastra ditempatkan dalam biang
pendidikan atau emansipasi, ataupun bila diharapkan agar sastra mengambil sikap
yang tegas terhadap keadaan-keadaan tertentu, melibatkan diri dalam situasi
itu.
4.
Kreteria
yang memerhatikan kemampuan karya untuk mengasyikkan pembaca, atau yang dapat
menarik peratiannya ataupun yang dapat mengharukan hatinya:kreteria emotivitas.
Dalam penelitian sastra yang berpangkal pada psikoanalisis diarahkan
perhatian kepada kemampuan sastra untuk mencairkan ketegangan dalam hati
pembaca, atau untuk mengalirkan atau bahkan memecahkannya.
5.
Kreteria
struktur memerhatikan susunan, keberkaitan, dan kesatuan karya sastra.
Kecenderungan untuk mengutamakan kreteria ini didukung oleh suatu pendekatan
terhadap sastra yang menitikberatkan karya sendiri, yang lebih memerhatikan bagaimananya
daripada apa-nya, jadi yang mendekati sastra secara estetik.
6.
Kreteria tradisi
menilai sebuah karya menurut daya pembaharuan atau justru sebaliknya,
sejauh karya itu setia kepada tradisi dalam hal gaya dan priode. Kreteria ini
ditonjolkan oleh kaum kritisi yang memusatkan perhatiannya kepada unsur
kesastraan di dalam sastra.
Bila seorang
kreteria mempergunakan kreteria tertentu ini tidak dengan sendirinya menentukan
penilaiannya. Misalnya dalam pendekatan struktural, maka cara seorang
menafsirkan unsur-unsur tertentu memengaruhi juga penilaiannya. Apakah
unsur-unsur tersebut memperkuat ataupun
mengganggu kesatuan karya. Unsur-unsur fiksional hendaknya menjamin bahwa
perhatian pembaca „dapat bertahan terhadap tekanan fakta yang makin meningkat”.
Secara struktural kesalahan, tadi
bukan lagi suatu kesalahan, melainkan sebuah sarana konvensional-literer yang
dengan sengaja dipergunakan oleh pengarang yang mahatahu. Bila kita
menyetujui pendapat bahwa tugas sastra ialah menampilkan kenyataan, maka ini
tidak berarti bahwa detail-detail yang sama kita tafsirkan secara mimetik.
Karya Henry Miller pernah ditafsirkan
sebagai realistik, tetapi pendapat yang sebaliknya pernah juga ditemukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar