Jumat, 10 Oktober 2014

KRITIK, PENAFSIRAN, DAN PENDEKATAN DALAM SASTRA



KRITIK, PENAFSIRAN, DAN PENDEKATAN DALAM SASTRA

A. Kritik dalam Ilmu Sastra
         1. New Criticism dan Strukturalisme
            Sebagaimana yang diungkapkan Darma bahwa begitu banyak dan beragam pemikiran yang telah mendorong lahirnya strukturalisme, dan semua pemikiran itu saling terkait dan saling mendukung. Seandainya pemikiran-pemikiran itu tidak ada, mungkin strukturalisme tidak akan pernah ada, atau muncul dalam bentuk lain. Namun, di antara sekian banyak pemikiran, faktor langsung yang mendorong lahirnya strukturalisme adalah New Criticism.
Cleanth Brooks, seorang figur sentral dalam gerakan kritik baru. Buku-bukunya  seperti Understanding Poetry (1938), Understanding Fiction (1943), Understanding Drama (1945), dan The Well-Wrought Urn (1947) telah membantu menjadikan pendekatan New Criticism menjadi pendekatan 'resmi' dan paling dasar dalam ilmu sastra. Ini terbukti dengan wajibnya pengajaran pendekatan ini (walau tanpa embel-embel 'New Criticism') dalam tiap kelas perkenalan sastra.
Walau New Criticism (kritik baru) adalah pendekatan paling dasar dalam setiap pengajaran ilmu sastra, tidak banyak yang mengenal fondasi teoritisnya. Namun  ada banyak konsep yang dapat menjelaskan prinsip utama kritik baru. Sebut saja Objective Correlative milik T.S Eliot, Intentional Fallacy-nya Wimsatt dan Bradsley atau Organic Unity-nya Coleridge. Dan untuk alasan praktis, kita bisa mengambil benang merah dari berbagai konsep tersebut dengan meringkas doktrin inti pendekatan ini cukup dalam satu frase: "unity of form and content”, atau dalam bahasa Cleanth Brooks: "form is meaning". Untuk memahami ungkapan pendek tersebut kita perlu mengatahui apa itu form (bentuk), apa itu content (isi) dan apa maksud mereka adalah satu kesatuan. 'Isi' adalah ide atau makna dari sebuah karya. Ia adalah apa yang ingin disampaikan lewat karya. Dalam konteks sastra ini dikenal dengan tema. Sedangkan 'bentuk' adalah bagaimana ide tersebut disampaikan. Ini merujuk pada majas, simbol, alur, sudut pandang, ironi dan unsur-unsur sastra lainnya yang merupakan unsur pembentuk dari tema atau ide yang disampaikan. Fakta bahwa 'bentuk dan isi tidak bisa dipisahkan'  atau merupakan satu kesatuan sudah tersirat. Isi yang abstrak hanya bisa disampaikan lewat bentuk yang konkret. Dan bentuk pun hanya bisa dikembangkan dari isi tersebut.
                Cara  kerja New Criticism tanpaknya tidak lain merupakan pertanggungjawaban atas kebenaran kajian mereka. Di satu pihak menurut Books, puisi adalah aktivitas alamiah, yang tidak lain merupakan salah satu aktivitas fundamental manusia, yang karena itu bukan merupakan aktivitas yang esoterik (hanya diketahui dan dipahami orang-orang tertentu), karena itu, menurut Brooks, pandangan bahwa puisi dapat dikaji dengan common sense (akal sehat) memang benar, tapi hanya sampai pada tahap-tahap tertentu saja. Apabila kajian terhadap puisi diperdalam  ke hakikat puisi yang esensial, common sense tidak dapat dipergunakan lagi.
            Pada awalnya sementara itu, baik formalism Rusia (termasuk strukturalisme Rusia), maupun strukturalisme menganggap bahwa karya sastra adalah otonom. Namun pengertian otonom ini cenderung meluas. Otonomi dalam New Criticism, misalnya terbatas pada sebuah puisi yang dijadikan objek kajian. Puisi dengan demikian tidak ada kaitannya dengan  dunia luar sama sekali termasuk biografi penyairnya. Formalism Rusia, sementara itu mempunyai pandangan yang lebih luas mengenai otonomi. Karena karya sastra adalah karya seni, maka otonomi sebuah karya sastra pasti tidak bebas dari kaitannya dengan karya-karya seni lain. Otonomi yang lebih luas ini terjadi karena objek Formalisme Rusia adalah narasi, dan karena itu tidak terbatas pada puisi. Sebuah narasi dengan demikian, mungkin berhubungan dengan musik, karena narasi dan  musik adalah sama-sama karya seni. Sementara itu, strukturalisme menganggap bahwa sastra bukan hanya sebuah seni, tapi juga merupakan satu bagian humaniora, sebagaimana misalnya linguistik, antropologi, sejarah, dan lain-lain.  
            Karena , sastra menurut New Criticism, merupakan sesuatu yang dibentuk dengan baik sehingga tak ada satu pun bagiannya yang dapat dihilangkan atau diganti. Ia merupakan satu kesatuan organik yang kompleks dan unik di mana makna harus dicari dalam sintaksis dan semantiknya dengan sarana dan bekal pengetahuan kebahasaan dan kesastraan. Dalam menghadapi karya sastra yang tersedia bagi New Criticism hanya meaning, makna karya itu, dan hanya itulah yang dapat dipahami dan dikupasnya, tanpa jalan lain untuk mengikutsertakan niat atau maksud pengarang (intentional fallacy) karena pengetahuan mengenai riwayat hidup atau pendirian penulis, juga dalam penciptaan karyanya, tersebut tidak membantu untuk memahami karya itu dengan lebih baik, bahkan sering mengelirukan.
New Criticism berpendapat bahwa dalam melakukan pendekatan atau analisis terhadap karya sastra yang diperlukan ialah pendekatan intrinsik yang menekankan struktur karya sastra sendiri. Berdasarkan paradigma ini, maka New Criticism pun menolak emosi atau afeksi, sikap keterharuan pembaca sebagai kriteria atau jalan untuk memahami karya dengan lebih tepat. Menurut mereka, jurang antara emosi pembaca dan makna karya tidak dapat dijembati oleh pengkritik sastra dengan alat yang diberikan kepadanya, yaitu teks karya itu sendiri. Yang ada dan yang tinggal bagi pengkritik sastra hanya kata-kata karya. Jadi, kesan pembaca (affective fallacy) terhadap satu teks sastra pun ditolak karena dianggap dapat menyebabkan kesesatan dalam melakukan analisis.
Dengan begitu, New Criticism menyarankan bahwa dalam mendekati atau menganalisis karya sastra yang harus dilakukan pertama kali adalah dengan melakukan pembacaan secara mikroskopik terhadap karya sastra. Metode pembacaan ini dikenal dengan istilah close reading. Close reading merupakan metode pembacaan terhadap karya sastra yang berusaha mencermati karya sastra dengan teliti dan mendetail. Ini bertujuan agar tak ada satu pun bagian dari karya sastra yang sedang diamati terlepas dari pengamatan, sebab semua bagian dalam karya sastra, sekecil apa pun bagian tersebut, merupakan bagian yang tidak mungkin dipisahkan.
Pembacaan secara close reading membuat karya sastra menjadi hidup, menjadi konkret (concret) dalam benak pembaca. Selain itu, pembacaan dengan metode ini membuat analisis menemukan tekanannya pada kerja yang bersifat empirik, karena ia melakukan observasi langsung terhadap teks dan bukan hal-hal di luar teks. Oleh sebab itu, New Criticism juga mengandaikan adanya empirisme dan konkretisasi dalam melakukan pendekatannya atau kerja analisisnya terhadap satu karya sastra. Oleh  karena itu, menurut New Criticism, metode  pembacaan secara close reading ini bertujuan untuk menemukan atau menggali struktur karya sastra yang terdiri dari ambiguitas, paradoks, dan ironi. Karena struktur karya sastra adalah struktur dalam tatarannya yang individual. Ia bukanlah 'bentuk' dalam pengertian konvensional di mana bentuk diartikan sebagai amplop yang memuat 'isi'. Ia jelas berada di mana-mana dan terkondisi oleh sifat materi yang ada dalam puisi. Sifat materi menentukan masalah yang perlu dipecahkan, dan pemecahannya ialah penyusunan materi itu.
 Struktur, dalam pandangan New Criticism, adalah struktur makna, evaluasi, dan penafsiran; dan prinsip kesatuan yang menjelaskan kelihatan merupakan prinsip menyeimbangkan dan mengharmoniskan konotasi, sikap, dan makna. Dan ia menyatukan hal-hal yang sama dengan hal-hal yang berbeda. Namun, ia tidak menyatukannya dengan suatu proses sederhana yang memungkinkan satu konotasi menghapuskan konotasi lainnya; demikian pula ia tidak mengurangi sikap-sikap yang bertentangan menjadi harmoni melalui proses pengurangan. Struktur tersebut merupakan kesatuan yang positif, tidak negatif; ia tidak merupakan sisa, melainkan suatu harmoni yang dapat diperoleh. Konsep inilah yang menggabungkan kesatuan dan keberagaman yang mengantar New Criticism pada penggunaan yang terbiasa dalam mengkritik istilah-istilah seperti 'ambiguitas', 'paradoks', 'kompleksitas sikap', dan khususnya 'ironi'. Menurut New Criticism, makna karya sastra bukanlah makna denotasi tapi makna konotasi, karena bahasa sastra berbeda dengan bahasa sains atau bahasa pada umumnya. Bahasa sastra tidak menunjuk langsung, tapi mengandaikan. Pengandaian ini membuat makna karya sastra menjadi sangat luas dan bebas. Oleh karena itu, makna karya sastra adalah makna yang ambigu. Kecenderungan adanya ambiguitas makna ini membuat karya sastra berada pada ketegangan-ketegangan. Ketegangan-ketegangan ini menciptakan sifat paradoks dalam karya sastra. sikap dari karya sastra, juga melahirkan ironi. Secara umum, paradoks dapat dipahami sebagai gaya bahasa yang mengandung pertentangan yang nyata dengan fakta-fakta yang ada. Paradoks ini menghadirkan gambaran kompleksitas
             Dalam ironi, segala sesuatunya bermakna berlawanan dengan makna sesungguhnya. Ironi ini banyak bentuknya, ada ironi verbal yang merupakan lawan atau kebalikan dari apa yang diucapkan dan apa yang dimaksud sesungguhnya. Ada ironi dramatik yang merupakan lawan atau kebalikan dari apa yang diketahui tokoh dalam satu karya sastra dan apa yang diketahui oleh pembaca. Dan yang terakhir ada ironi situasi yang merupakan lawan atau kebalikan antara harapan atau prasangka dan hasil dari harapan atau prasangka tersebut. Untuk menciptakan ambiguitas, paradoks, ironi dan kompleksitas sikap tersebut, karya sastra, menurut New Criticism, senantiasa menggunakan bahasa kiasan, baik apakah itu berupa metafora, yang merupakan perbandingan antara satu objek dengan objek lainnya tanpa penggunaan kata pembanding, ataupun simile, yang merupakan pembadingan antara objek satu dengan lainnya dengan menggunakan kata-kata pembanding. Keberadaan bahasa kiasan ini pula yang membuat makna dari satu karya sastra senantiasa bersifat konotasi bukan denotasi.
          Melihat kerja dari New Criticism tersebut, maka tidak mengherankan apabila New Criticism menganggap bahwa dalam karya sastra antara bentuk dan isi merupakan satu kesatuan yang bulat. Dan setiap bentuk yang ada pada karya sastra senantiasa tunduk pada makna. Karena itu, bagi New Criticism, adalah penting untuk mencari makna dari satu karya sastra sebab dengan menemukan makna dari satu karya sastra, bentuk dari satu karya sastra tersebut juga dapat dikenali (Darma, 2004; Bertens, Jausz, 1977; Brooks, Caller, 1975).
            Berdasarkan uraian di atas, diperjelas oleh Darma (2004) mengenai cara kerja New Criticism, karena banyaknya pemikir dan praktisi New Criticism dan di antara mereka pasti ada silang pendapat, pada hakikatnya cara kerja mereka sama, yaitu
1.      Close reading, yakni mencermati karya sastra dengan teliti dan mendetail, kalau perlu baris demi baris, kata demi kata, dan kalau perlu sampai ke akar-kara katanya. Tanpa close reading, bagian-bagian kecil puisi mungkin akan terlepas dari pengamatan, padahal semua bagian sekecil apa pun, akan merupakan bagian yang tidak mungkin dipisahkan dari sebuah puisi. Begitu sebuah detail puisi ditemukan tidak mempunyai makna dan tidak mempunyai fungsi, maka mutu estetika  puisi ini tidak mungkin dijamin.
2.      Empiris, yakni pendekatan analisis pada observasi bukan pada teori. Tokoh-tokoh New Criticism tidak pernah menyatakan bahwa New Criticism adalah sebuah teori sastra, namun karena New Criticism mempunyai cara kerja  sistematis sebagaimana halnya teori-teori sastra lain, maka New Criticism mau tidak mau diakui sebagai sebuah teori sastra. Dalam sejarah teori dan kritik sastra, New Criticism selalu menempati urutan pertama.
3.      Otonomi, karya sastra adalah sesuatu yang mandiri dan berdiri sendiri, tidak tergantung pada unsur-unsur lain termasuk kepada penyair/penulisnya sendiri. Kajian sastra adalah sebuah kajian yang mandiri dan berdiri sendiri, tidak bergantung pada kajian-kajian lain, seperti sejarah, filsafat, biografi, psikologi, dan sebagainya.
4.      Concreteness, apabila karya sastra dibaca, maka karya sastra menjadi concrete atau hidup.
5.      Bentuk (form). Titik berat kajian New Criticism adalah bentuk karya sastra, yaitu keberhasilan penyair atau penulis dalam diksi (pemilihan kata), imagery (metaphor, simile, onomatopea, dan sebagainya), paradoks, ironi, dan sebagainya. Bagi New Criticism bentuk karya sastra menentukan isi karya sastra.
           Karena bentuk memegang peran penting, maka titik berat perhatian New Criticism adalah konotasi, bukan denotasi. Maka denotasi kursi misalnya, adalah kursi, sedang makna konotatifnya mungkin kedudukan  atau kekuasaan. Kata-kata rebutan kursi, misalnya, mungkin mempunyai makna rebutan kedudukan atau kekuasaan, dan sama sekali bukan rebutan tempat duduk.
            Konotasi, dengan demikian, memberi ruang kepada metapor, simbol, dan lain-lain di luar makna harfiah sebuah kata, rangkaian kata, atau kalimat. Kata glut, dengan makna denotatif rakus, dapat mempunyai makna lain sesuai dengan konteksnya. Puisi, memang tidak lain adalah sebuah dunia metafora.
6.      Diksi (pilihan kata), wafat, mangkat, meninggal, mati, pada hakikatnya mempunyai makna sama, namun mana kata yang akan dipilih oleh penyair/penulis tergantung dari penyair atau penulisnya sendiri.
7.      Tone (nada),  yakni sikap penyair, penulis, narrator, atau lirik terhadap (a) diri sendiri, (b) diri sendiri terhadap objek atau bahan pembicaraan, dan (c) diri sendiri terhadap lawan bicaranya.
Kalimat apakah benar ayah Saudara kemarin meninggal? menunjukkan bahwa pembicaranya tidak menganggap dirinya lebih tinggi daripada yang diajak bicara, dan ayah yang diajak bicara. Kalau kalimat ini diganti menjadi apa betul ayahmu kemarin mampus? akan tanpak bahwa pembicara merasa lebih tinggi kedudukannya dibanding yang diajak berbicara dan ayah yang diajak bicara.
Makna harfiah dua kalimat ini sebetulnya sama, namun karena diksi atau pilihan katanya berbeda, maka nadanya juga berbeda. Dari diksi tampak bahwa konotasi lebih penting daripada denotasi. Dengan adanya  pilihan kata yang berbeda, cara berbicaranya pun tentu berbeda.
8.      Metafor, yakni pembandingan satu objek dengan objek lain tanpa penggunaan kata-kata penggunaan kata-kata seperti, bagaikan, dan semacamnya. Hamidah adalah bunga mawar (Hamidah bukan bunga mawar, namun cantik dan anggun bagaikan bunga mawar).
9.      Simile, yakni perbandingan objek atau dengan  objek lain dengan penggunaan kata-kata seperti, bagaiman, dan hal yang semacamnya. (Hamidah cantik bagaikan bunga mawar).
10.  Onomatopea atau peniruan bunyi (Terdengar ketepak-ketepak langkah kaki kuda).
11.  Paradoks, lawan atau kebalikan Sesautu, antara lain dapat dipergunakan untuk menyindir. Kalau seseorang naik taksi dan taksinya terlalu cepat si penumpang dapat berkata kepada sopir: Alangkah baiknya apabila lebih cepat lagi, dengan maksud kurangi laju taksi. Di sini juga tampak bahwa konotasi lebih penting daripada denotasi.
Namun paradok tidak selamanya untuk menyindir, sebagaimana yang tampak pada kata-kata Juliet dalam drama tragedi William Shakespeare, Romeo and Juliet, ketika ia berjumpa dengan Romeo untuk pertama kali:
Karena para santo punya tangan yang para peziarah menyentuhnya
Dan telapak tangan terhadap telapak tangan adalah ciuman sakral telapak-telapan tangan.
Kehadiran paradoks ini tidak terasa langsung tetapi menjadi jelas manakala konteks kata-kata itu disimak. Juliet bertemu dengan Romeo untuk pertama kali dalam suatu masquerade (pesta dansa topeng). Semua hadirin menggunakan pakaian yang serba tertutup, sementar wajahnya menggunakan topeng sehingga satu sama lain tidak saling mengenal. Sentuhan pertama antara Juliet dan Romeo adalah sentuhan antara telapak tangan dan telapak tangan.
Dalam pertemuan itu mereka belum saling mengenal dan belum saling tahu wajah masing-masing, Juliet menganalogikakan sentuhan telapak tangan dengan para peziarah suci dalam perjalanan mereka ke Tanah Suci. Ada nuansa samar-samar bahwa sentuhan-sentuhan telapak tangan mereka yang sebenarnya suci pada hakikatnya mengotori kesucian. Antara suci dengan mengotori kesucian itulah letak paradox, yang kemudian akan berlanjut pada pertumpahan darah dan balas dendam.
Dua abad setelah William Shakespeare menulis kata-kata yang diucapkan Juliet, suasana paradoks pada kata-kata itu menjadi lebih jelas ketika seorang pengarang Aldous Huxley, menulis novel The Brave New World (Dunia baru yang berani). Dengan cerdik Huxley menggambarkan sentuhan telapak tangan Juliet dan Romeo bagaikan sentuhan binatang dalam novelnya, dengan diam-diam berkeringat, telapak tangan ke telapak tangan. Baik dalam novel ini maupun dalam hubungan antara Juliet dan Romeo sebagai salah satu sumber inspirasi novel ini, terasa bahwa sentuhan-sentuhan Juliet dan Romeo yang sebetulnya suci bagaikan para santo di Tanah Suci, ternyata lebih dicemari dengan nafsu kebinatangan.
Paradoks yang baik dalam sebuah karya sastra yang baik biasanya menimbulkan gema pada pikiran penyair atau pengarang lain. Ada paradoks William Shakespere yang dua abad kemudian masuk dengan versi berbeda dalam puisi Caleridge, penyair Romantik pada abad ke-19:
Maka mereka mencintai sebagaimana halnya saudara kembar
Punya patisari namun tak lain hanyalah atu
Dua berbeda, pembagian tak ada
Angka-angka di sana dibunuh dengan cinta.
            Paradoks terletak pada makna cinta dan kebencian, cinta yang berakhir pada nafsu saling berbunuhan. Sebagaimana halnya  dengan kata-kata Juliet di atas, paradoks dalam sajak Coleridge juga amat samar. Maka paradoks ini tidak lepas dari kisah-kisah Kitab Suci mengenai Abel dan Kain, dua saudara kandung yang, kendati tidak kembar, seharusnya saling mencintai, namun ternyata terlibat dalam pembunuhan.
            Kadang-kadang paradoks juga tampak seperti moto, kendati maknanya mungkin bukan moto, sebagaimana yang tampak dalam puisi John Donne “Kanonisasi”: dia yang akan menyelamatkan jiwanya, harus kehilangan jiwanya terlebih dahulu, dan yang terakhir akan menjadi yang pertama.
12.  Ironi segala sesuatu dalam ironi mempunyai makna yang berlawanan dengan makna sesungguhnya atau makna denotasi. Ironi terdiri atas ironi verbal, ironi dramatik, dan ironi situasi.
(a)    Ironi verbal, lawan atau kebalikan dari apa yang diucapkan dan apa yang dimaksudkan sesungguhnya. Kalimat wah, kamu cantik sekali sebetulnya merupakan alat untuk menyampaikan maksud yang sebenarnya, yaitu kamu buruk rupa. Ironi ini dinamakan ironi verbal karena pembicara hanya mempergunakan kata-kata tertentu untuk menyampaikan maksud yang sesungguhnya. Dengan sendiriya ironi verbal ini, ada hubungannya dengan diksi, yaitu pilihan kata dari buruk rupa digati dengan cantik. Diksi tertentu menunjukkan pula tone atau nada, yaitu sikap pembicara terhadap yang diajak berbicara. Dengan adanya nada tertentu, nada berbicara pembicara juga terpengaruh.
(b)   Ironi dramatic: lawan atau kebalikan apa yang tidak diketahui tokoh dalam sebuah karya sastra, drama, atau film dan apa yang diketahui oleh pembaca atau penonton. Dengan kata lain, pembaca atau penonton tahu, namun tokoh dalam karya sastra, drama, atau film itu tidak tahu. Sebagai  misal, penjahat dalam film menuju ke utara dengan membawa senapan karena dia yakin polisi ada di utara sana, tetapi penonton tahu bahwa sebetulnya polisi ada di selatan, di belakang dia, tidak jauh dari dia.
Dalam prosa, contoh klasik dramatik ironi tampak jelas dalam novel Jane Austen, Emma . Kegemaran Emma seorang gadis yang sudah hampir terlambat menikah, tidak lain adalah menjodoh-jodohkan orang lain. Orang-orang yang sudah tua pun, yang sebetulnya tampak sudah tidak layak untuk menikah, dia menjodoh-jodohkan pula dengan semangat.
Bukan hanya itu. Dia juga sangat bersemangat dalam mengatur upacara-upacara pengantin seolah-olah tidak ada orang lain selain dia yang sanggup mengerjakannya. Demikianlah, dia selalu berlagak sebagai orang yang paling tahu mengenai pengantin dan orang yang paling memunyai hak untuk menentukan masa depan kehidupan orang lain melalui pernikahan.
Pembaca akhirnya tahu, sementara dia sendiri tidak tahu, bahwa dengan jalan menjodoh-jodohkan orang lain pada hakikatnya dia sendiri ingin mendapatka jodoh mengapa dia menjodoh-jodohkan orang-orang tua, tidak lain karena dia sendiri akhirnya jatuh cinta pada seorang laki-laki yang jauh lebih tua daripada dirinya. Lagi, dia tidak tahu, namun pembaca tahu.
(c)                 Ironi situasi: lawan atau kebalikan antara harapan atau persangkaan dan hasil dari harapan atau perasangka itu. Seorang mahasiswa misalnya, merasa sangat senang karena dalam ujian dia sanggup menjawab semua pertanyaan dengan sangat mudah. Dia mempunyai keyakinan besar bahwa dia akan lulus. Keyakinan bahwa dia akan lulus tidak lain merupakan harapan. Namun ketika pegumuman hasil ujian keluar, ternyata dia tidak lulus, kenyataan yang benar-benar berlawanan dengan harapannya.
           Kritik baru, dengan demikian, mulai diperkenalkan pada tahun 1930-an dan menjadi berpengaruh kuat di Eropa Barat dan Amerika Serikat hingga tahun 1950-an. Semula New Criticism merupakan gerakan kritik yang melawan pendekatan sastra historik biografik serta kritik impresionistik. Para penganut new criticism menganggap ilmu dan teknologi menghilangkan nilai-nilai kemanusiaan dari masyarakat dan menjadikanya berat sebelah, ilmu sains tidak memadai dalam hal mencerminkan kehidupan manusia. Sastra mengungkapakan situasi kehidupan manusia yang lebih sempurna. Sebab, sastra merupakan pengetahuann yang berdasar pada pengalaman. Tugas kritik adalah “mengetahui dan memerlihatkan serta memelihara kekhasan, keunikan, dan kelengkapan karya sastra”. New Criticism menganalisi karya sastra dari segi susunan dan organisasi sebuah karya sastra yang dapat memerlihatkan makna sesungguhanya. Karya sastra merupakan suatu kesatuan yang telah selesai, sebuah gejala estetik yang pada saat penyelesaianya meninggalkan syarat-syarat subjektif (maksud pengarang).New criticism menentukan ciri-ciri sastra yang baik dengan adanya paradoks dan ironi .

        2. Kritik Merlyn
            Merlyn (nama majalah di Belanda 1962-1966 dan nama itu sebenarnya nama seorang resi dari legenda Raja Athur) menjadi terkenal karena menafsirkan puisi dan novel-novel Belanda seara ergosenrtrik.Pendekatan yang dilakukan Merlyn mewakili pendekatan yang memusatkan perhatian hanya pada karya sastra itu sendiri dalam menafsirkan suatu karya sastra. Kelompok ini tidak banyak menaruh perhatian secara sistematis bagi komunikasi sastra, dan penafsiran terhadap karya sastra pertama-tama harus didasarkan  atas data yang terdapat di dalam karya itu sendiri. Yang mereka tuntut ialah  otonomi karya sastra dan yang dituntut ialah situasi membaca bukan situasi menulis.
            Merlyn  memerhatikan ciri-ciri yang khas bagi sastra. Yang menjadi sasaran kritikus ialah analisa kesastraan lalu dengan bertumpu pada analisa itu, kemudian memberikan penilaian, dan yang menjadi kreteria dalam penilaian itu ialah kesatuan karya, sejauh mana kerangka fiksinal dipertahankan secara konsekuen, serta konsistensi dalam komposisi, gaya, dan psikologi.
            Untuk menilai konsistensi psikologi, maka yang menjadi persoalan bukanlah apakah sesuatu secara psikologi masuk akal, melainkan apakah perwatakan yang lebih dipilih ada konsistensi.
            Bagi kelompok Merlyn sebuah karya sastra didekati dengan tepat apabila kita memergunakan analisis struktural. Menurut definisi mereka, struktural ialah cara yang unik segala aspek bentuk dan isi kait mengait. Kebertautan yang unik itu dapat kita temukan dengan mengadakan close reading, yaitu cara membaca yang bertitik tolak dari pendapat, “bahwa setiap bagian teks menduduki tempat di dalam seluruh struktur sehingga kait-mengait secara logika.
            Efek sebuah karya sastra ditentukan oleh apa yang dapat diperbuat seorang pembaca dengan teks itu. Bagi seorang pembaca sebuah karya sastra penting bila “ketegangannya sendiri, termasuk masalah-masalah yang hidup dalam kesadarannya, ditampakkan dalam karya itu, di dalam situasi yang buat situasi si pembaca, tetapi yang dapat dihayatinya”.
          Berikut  contoh analisis yang dilakukan dengan kritik Merlyn. Pada  puisi Balada Nabi Nuh” karya Taufiq Ismail.
            Balada Nabi Nuh
Gemuruh air jadi lautan
Gemuruh dunia yang tenggelam
Gemuruh air jadi lautan
Gemuruh dunia yang tenggelam
Wahai kaum yang nestapa
Wahai anakku yang malang
Wahai kaum yang nestapa
Wahai anakku yang malang
Oooh Nabi Nuh
(Taufiq Ismail Balada Nabi-Nabi, Gema Nada Pertiwi)
            Judul sajak di atas ’Balada Nabi Nuh’ kata balada berarti sajak , cerita, kisah sederhana yang mengkisahkan cerita rakyat, bersifat romantis, mengharukan dalam bentuk nyanyian. Tradisi balada barat berpola rima a-b a-b. Nabi Nuh adalah nama nabi ketiga setelah Adam dan Idris yang tercatat dalam kitab perjanjian lama dan Alquran.
”gemuruh air jadi lautan ” memeresentasikan keadaan datangnya banjir dahsyat yang membuat alam menderu.”gemuruh dunia yang tenggelam” karena besarnya air yang datang maka permukaan bumi tenggelam di iringi deru air, gaduh , hiruk-pikuk, jerit tangis manusia saat itu.”tenggelam” berati karam ’terbenam air tidak terlihat, hilang bentuk. Sebuah gambaran yang seram bahwa bumi dan manusia diliputi air. ”wahai kaum yang nestapa ” sang narator menyapa, berseru, kepada suku, kaum, umat Nabi Nuh. ”Wahai anakku yang malang” seruan ini untuk anak yang malang, anak yang tidak penurut anak yang membangkan ajakan orang tuanya hingga membuat dirinya celaka akibat perbuatanya sendiri yang tidak memercayai ajakan orang tuanaya. Hingga akhirnya iapun tenggelam bersama orang-orang yang tidak memercayai kata-kata sang Nabi. ”oooh Nabi Nuh ” kehadiran nabi Nuh dalam sajak ini memberikan presentasi yang mewakili Nabi-Nabi di antaranya ialah dirinya sendiri dalan sejarah kehancuran umat manusia karena ditenggelamkan dalam air yang begitu dahsyat.

        3. Nouvelle Critique
            Aliran Nouvelle Critique berkembang di perancis pada tahun 1960-an. Para kritikus penganut aliran ini di ataranya adalah Roland Barthes. Aliran ini memiliki perhatian terhadap struktur teks, kesanggupan memperjelas titik tolak pada struktur teks dan memperluas pandangan dari luar teks sehingga dapat melihat nilai kesejarahanya. Aliran   ini beranggapan kritikus adalah subjek yang menambah nilai-nilai sendiri sambil membaca karya sastra tertentu. Sebuah  karya sastra mengandung sifat ambigu, terbuka bagi penafsir untuk menafsirkan makna pertama dan kedua. Ketika  kritikus menganalisis karya sastra secara implisit mereka telah menentukan hasil analisisnya. Sikap  subjektif itu tidak mengenyampingkan metode kritis dan objektifnya karena mendasarkan pada struktur teks karya sastra. Atas dasar itu, maka aliran ini menyebut dirinya kaum strukturalistik.
Kaum strukturalis akhirnya menyadari bahwa suatu teks tidak dapat ditafsirkan secara tuntas dalam arti yang sesungguhnya dapat diungkapkan. Ketaksaan bahasa yang menyebabkan dapat diinterpretasikan kembali teks itu dalam tulisan-tulisan baru atau disadur dalam karya-karya baru dari teks –teks yang pernah ada. Misal puisi”Pokok Kayu” dan ”Balada Nabi Nuh” yang ditulis kembali dari Al quran atau dapat juga dari kitab-kitab perjanjian lama.
            Oleh karena itu, para penganut Nouvelle Critique biarpun berbeda-beda dalam mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang kritis selalu ingin menunjukkan struktur-struktur. Dalam sebuah struktur kelihatan tata susunan serta keberkaitan intern. Bagian-bagian baru memperoleh arti kalau dipandang dari keseluruhan, dan keseluruhan baru dapat dimengerti kalau kita memperhatikan bagian-bagiannya. Bila kita membaca sebuah teks, maka bagian-bagiannya kita tafsirkan secara lokal dan sementara saja; suatu pengartian yang lebih lengkap baru terjadi bila kita menafsirkannya dalam lingkara-lingkaran konteks yang makin luas. Ucapan seorang tokoh dalam sebuah tragedi hendaknya ditempatkan dulu dalam konteks adegan, kemudian dalam konteks babak, lalu dalam konteks seluruh tragedi; tragedi yang tertentu itu kemudian kita tempatkan dalam konteks semua tragadi yang ditulis oleh pengarang yang bersangkutan dan akhirnya dalam visi manusia yang terus-menerus berkembang.
            Nouvelle Critique , menamakan diri strukturakistik. Penjabaran kongkret megenai konsep struktur pada umumnya, bersangkut dengan kaitan-kaitan tetap antara kelompok-kelompok gejala. Menurut Barthes, kritik menciptakan arti-arti sedangkan ilmu sastra melukiskan berdasarkan penalaran mana arti-ari itu dihasilkan.
            Struktur sebuah teks sudah dipatrikan di atas kertas baru menjadi jelas dan baru dirasakan oleh pertanyaa-pertanyaan yang diajukan oleh kritikus. Dengan membaca teks yang sama dengan cara-cara yang berbeda-beda, kelihatan struktur yang berlainan pula. Teks yang sama dapat didekati oleh seorang ahli sosiologi, seorang psikoanalitikus, seorang linguis, dan seorang peneliti gaya bahasa dari hasil penelitian mereka berbeda-beda. Setiap pendekatan menampilkan struktur-struktur yang berbeda-beda, dan menafsirkan karya itu berbeda pula. Sebagai contoh, ambillah misalnya penafsiran terhadap karya Racine, penarang tragedi Perancis abad ke-17; Mauron, seorang ahli ilmu jiwa menemukan keberkaitan dan garis perkembangan dalam tragedi-tregedi Racine dengan mengelompokkan tokoh-tokohnya menurut kriterium agresivitas (nafsu untuk menyerag). Dengan demikian ia menemukan dua rangkaian tokoh “para pemburu” yang bersenjata, serta mereka “yang diburu” yang tidak bersenjata atau dengan sia-sia disenjatakan.
            Dalam pendekatan Barth ditekankan tiga kaitan; kaitan kekuasaan, persaingan, dan cinta. Bagi Goldman, seorang marxis, arti pokok dalam karya Racine harus didekati secara sosiologik; struktur karya Racine hendaknya dimengerti dari situasi religiusnya, sebagai seorang penganut aliran-aliran Jansenis yang bertumpu pada hubungan-hubungan ekonomis dan sosial tertentu.
            Berthes membedakan karya yang dapat dibaca dari karya yang dapat ditulis. Sebuah karya yang dapat dibaca, misalnya sebuah novel realistik, pada umumnya akan kita baca dengan sebelah nafas dari awal sampai akhir. Kita ingin tahu bagaimana tamatnya, pemecahannya. Berlawanan dengan membaca sebuah teks”yang dapat dibaca” secara horizontal adalah membaca sebuah teks “yang dapat ditulis” secara “vertikal”. Teks yang dapat ditulis dengan sedemikian rupa, sehingga mengajak kita untuk menulisya kembali, memeroduksinya kembali. Karena tidak jelas, maka terbukalah kesempatan, bahkan keharusan untuk menganalisa teks itu kata demi kata dan kalimat demi kalimat. Dengan begitu kita menghasilkan arti-arti baru.
            Beberapa dalil dari kelompok Nouvelle Critique menimbulkan masalah-masalah yang dapat dipertanyakan kebenarannya. Diskripsi mereka mengenai proses interpretasi, cara bagian dan keseluruhan saling menentukan, sebetulnya berbau filsafat dan tidak begitu saja dapat dibuktikan. Hal ini juga berlaku bagi pendapat-pendapat yang serupa dari aliran-aliran hermeneutik lainnya. Dalil bahwa segala sesuatu mempunyai arti dapat menghasilkan suatu penafsiran yang dibuat-buat mengenai detil-detil di dalam modul penelitian yang kita pilih. Kegemaran mereka bagi “teks-teks yang dapat ditulis” mengakibatkan kita tidak lagi secara polos dapat menilai sebuah teks realistik. Tetapi Nouvelle Critique sangat berjasa karena mereka telah membuka subjektivitas seorang kritikus, mereka memerlihatkan bahwa sebuah penafsiran juga tergantung pada pertanyaan-pertanyaan yang diajukan mengenai teks yang bersangkutan.
        4. Poststrukturalisme atau Dekonstruksi
   Poststrukturalisme dikenal sejak 1960-an di Amerika Serikat tokohnya adalah Paul de Man dan J Hillis Millier, secara tegas menolak pandangan new criticism, mereka ingin mendekonstrusikan teks, lalu merekonstruksi sebuah teks baru. Mereka berpendapat:
1. Teks tidaklah mencerminkan kenyataan, tetapi teks membangun kenyataan. Bahasa  tidak menghadirkan kenyataan (latar, peristiwa atau kejadian, dan perbuatan tokoh), tetapi bentuk-bentuk bahasa menghadirkan peristiwa, dan perbuatan tokoh hanya dalam angan-angan pengarang.
       2. Sebuah teks merupakan tenunan yang tersusun dari berbagai utas benang.        Apabila kita hanya mengikuti satu utas benang, kita mendapat kesimpulan yang keliru. Tetapi juga , apabila kita mengikuti berbagai utas benang maka kita juga tidak dapat menentukan arti yang definitif. Kritik menuju ke arah ”apora” tidak mengetahui arti secara pasti apa jalan keluarnya akhirnya membingungkan pembaca. Sebagai contoh dari puisi ”pokok kayu”dapat ditemukan adanya kemampuan imajinasi pengarang dalam menentukan kata-kata yang dipakai untuk memberi gambaran secara eksplisit maupun implisit terhadap pembaca. Dari kata-kata yang dirangkai, pengarang membayangkan adanya alam yang masih terpelihara, nyaman ditinggali, alami yang belum banyak tersentuh tangan-tangan jahil manusia, kemudian ia membayangkan lagi alam yang mulai tersentuh kekerasan pikiran manusia untuk memeroleh manfaat darinya sehingga mereka menebang kayu-kayu secara liar, dengan kapak-kapak yang memang menjadi alat penebang pepohonan pada jaman dahulu. Pengarang kembali membayangkan hewan-hewan merasa susah dan marah akibat dari penebangan yang dilakukan manusia mereka benar-benar terusik, ini juga sebagi singgungan terhadap manusia lain yang sebenarnya tidak setuju terhadap perilaku manusia pada alam, kemudian pengarang menghubungkan imajinasinya dengan keadaan Nabi Nuh yang pada waktu itu sedang bertapa atau dalam keadaan sepi dan kondisi fisik yang tua.
Dengan begitu, yang menjadi sasaran dekonstruksi ialah memerhatikan sejauh mana seorang pengarang mempergnakan pola-pola bahasa dan pemikiran guna memberi bentuk kepada suatu versi tertentu. Dekonstruksi berarti penelitian mengenai intertektualitas, mencari bekas teks-teks lain. Seorang kritikus yang mengikuti paham dekonstruksi menguraikan struktur-struktur retorika yang dipakai, mencari pengaruh-pengaruh dari teks-teks yang dulu pernah ada, meneliti etimologi kata-kata yang dipergunakan lalu berusaha agar teks yang sudah dibongkar itu disusun sebuah teks baru. Tugas terpenting seorang dekonstruksionis ialah terus-menerus melacak kembali bekas-bekas lama itu.
Sementara itu, aliran dekonstruksionalisme mengatakan bahwa mereka didukung oleh suatu filsafat tertentu serta sebuah pandangan mengenai bahasa. Di dalam praktek kritik kaum dekonstruksionis cukup mengacaukan. Ada banyak peluang bagi spekulasi subjektif dan dengan terus-menerus melacak bekas-bekas teks lama, maka setiap bentuk asosiasi dapat mereka pergunakan. Lama kelamaan bentuk kritik ini sangat terkait akan pengetahuan dan pribadi kritikus.

B. Penafsiran dalam Ilmu Sastra
           1. Resepsi dan Penafsiran
           Luxemburg, dalam bukunya Pengantar Ilmu Sastra membedakan penerimaan (resepsi) sebuah teks sastra dari penafsiran (interpretasi). Setiap reaksi dari pembaca terhadap sebuah teks, entah itu reaksi langsung maupun yang tidak langsung merupakan penerimaan. Oleh pembaca teks yang merupakan bahan bacaan, dijadikan teks yang kongkret selaras dengan  pengertian dari pengalaman serta penghayatannya. Laporan mengenai proses itu oleh Luxemburg menamai laporan penerimaan. Sebagai contoh catatan yang kita buat dalam buku harian mengenai sebuah buku yang baru kita baca atau resensi dalam surat kabar.
           Adapun penafsiran adalah bentuk khusus mengenai laporan penerimaan, sama seperti dalam proses penerimaan biasa, maka pembaca yang menafsirkan  mengartikan sebuah teks, tetapi tafsiran-tafsiran selalu disusun secara sistematik. Selain itu, penafsir berusaha untuk mengartikan teks itu secara tepat atau memadai. Perbedaan antara sebuah penafsiran dan suatu laporan penerimaan biasanya bersifat nisbi. Yang penting ialah kadar sistematikanya dan sejauh mana laporan pengartian yang memadai itu kita anggap penting; tentu saja ini bersifat nisbi. Resensi sebuah buku dalam surat kabar biasanya kita namakan  laporan penerimaan, sedangkan sebuah resensi dalam sebuah majalah sastra bersifat penafsiran.
         2. Jenis-jenis Penafsiran
           Dalam buku Pengantar Ilmu Sastra, Luxemburg membedakan enam jenis pokok penafsiran, sebagaimana berikut ini.
a.       Penafsiran yang bertitik tolak dari pendapat, bahwa teks itu sendiri sudah jelas. Menurut pandangan ini, maka syarat-syarat dan susunan teks membuka kesempatan bagi seorang pembaca yang kompeten untuk menemukan arti yang tepat.
b.      Penafsiran yang berusaha untuk menyusun kembali historic. Dalam pendekatan ini si juru tafsir dapat berpedoman pada maksud- si pengarang seperti nampak dari teks sendiri atau dari data di luar teks. Selain itu usaha penafsiran dapat dilakukan dengan menyusun kembali “cakrawala harapan” para pembaca pada waktu itu.
c.       Penafsiran hermeneutikan baru yang terutama diwakili oleh Gadamer berusaha memeradukan masa silam dan masa kini. Si juru tafsir sadar, bahwa ia berdiri di tengah-tengah suatu arus sejarah yang menyangkut baik penerimaan maupun penafsiran; cara ia mengartikan teks turut dihasilkan oleh tradisi. Selain itu, si juru tafsir ditentukan pula oleh individualitasnya dan masyarakatnya. Penafsiran terjadi sambil “meleburkan cakrawala masa silam dan masa kini”. Yang mejadi sasaran terakhir ialah agar si juru tafsir memahami teksnya dan menerapkan teks “yang baku dan lepas dari keterikatan waktu” pada situasinya sendiri.
d.      Tafiran-tafsiran yang dengan sadar disusun dengan bertitik tolak pada pandangannya sendiri mengenai sastra. Ini sering dilakukan dengan pretense bahwa kita dapat menunjukkan arti teks yang pokok.
e.       Tafsiran-tafsiran yang bertitik pangkal pada suatu problematik tertentu, misalnya permasalahan psikologi atau sosiologi. Dengan demikian, terjadi penfsiran bagian: bukan kebenaran yang ingin ditampilkan, melainkan sahnya suatu penafsiran pada suatu bidang terbatas.
f.       Tafsiran-tafsiran yang tidak langsung berusaha agar secara memadai sebuah teks diartikan, melainkan hanya ingin menunjukkan kemungkinan-kemungkinan yang tercantum dalam teks, sehingga pembaca sendiri yang menafsirkannya. Pendekatan yang berakibat pada pembaca disebut estetik resepsi. Pengarang memergunakan sarana-sarana struktural, retorika, dan stelistik, tetapi ada juga bidang-bidang yang dibiarkannya “kosong” mengaktifkan pembaca. Tafisiarn estetik resepsi bertujuan menunjukkan di mana dan bagaimana teks memaksa pembaca untuk bersikap aktif, agar teks itu dapat ditafsirkan sebagai teks pembaca sendiri. Sementara itu pula, sering ditunjukkan di mana teks membatasi kebebasan pembaca dalam menafsirkan.
       3. Tahap-tahap dalam Penafsiran
           Bila kita ingin menafsirkan teks-teks kuno atau teks-teks dari suatu lingkungan kebudayaan yang asing bagi kita, maka pertama-tama yang harus dilakukan penafsiran filologik. Bila teks yang bersangkutan tidak utuh lagi, atau bila ada versi-versi yang berbeda-beda, maka penafsiran filologik ingin menyusun kembali teks yang asli. Selain itu seorang filolog menerangkan juga unsur-unsur yang tidak jelas, akibat tahap perkembangan bahasa, atau yang bersangkutan dengan latar belakang hisorik. Tentu saja, kalau teks yang dihadapinya sangat tidak lengkap, maka pandangan dan penafsiran subjektif sang penyunting turut berperan.
           Menurut Lexemburg secara skematik ada empat tahap bila juru tafsir ingin menyampaikan suatu ungkapan mengenai arti teks yang memadai atau sah, yang  dalam praktik sering tumpang tindih: (1) menentukan arti langsung yang primer, (2) bila perlu menjelaskan arti-arti implisit, (3) menentukan tema, (4) bila perlu memerjelas arti-arti simbolik dalam teks.
           Berbagai teks sastra menimbulkan pertanyaan-pertanyaan bila kita ingin menentukan arti primernya, sekalipun kita mengerti teks itu kata demi kata. Banyak teks sastra bersifat ambigu (bermuka dua), dapat diartikan dengan berbagai cara dan meminta dari pembaca keaktifan sendiri. Teks-teks itu mengandung sejumlah unsur arti implisit yang oleh pembaca atau juru tafsir dieksplisitkan. Bila kita berjumpa dengan sebuah metafora, sintaksis yang menyimpang atau semantik yang lain, terjadilah keharusan untuk memerjelas hal itu. Keharusan itu timbul pada bagian-bagian dari teks itu, tetapi bila kita ingin menyusun kembali artinya yang menyeluruh. Arti yang menyeluruh itu dapat kita lacak dengan memelajari ekuivalensi dalam sebuah teks sastra.
           Kesatuan semantik yang kita andaikan dalam sebuah teks dinamakan tema yang meresepsi sebuah karya. Dengan istilah tersebut kita maksudkan ide atau perbuatan yang dapat dipakai sebagai ringkasan terpendek mengenai sebuah teks.
           Selain arti implisit dan tematik kadang-kadang masih dapat dijabarkan menjadi arti simbolik. Pencarian arti simbolik kita jumpai misalnya dalam tafsir alegorik tentang Alkitab. Membaca sebuah teks secara alegorik terjadi bila juru tafsir secara konsekuen membaca seluruh teks atau bagian-bagian besar menurut arti kiasan. Di samping pengertian simbolik teks tentu saja dapat diartikan secara harfiah. Seorang kritikus pernah menafsirkan Dua Wanita sebagai laporan mengenai hubungan antara ayah dan anak perempuannya; seorang kritikus lain melihat dalam novel itu pergulatan antara cinta dan rohani dan cinta duniawi. Penafsiran simbolik dengan begitu, memerlihatkan perbedaan-perbedaan bagi masing-masing pembaca atau kritikus. Penafsiran simbolik merupakan sesuatu yang sangat pribadi sifatnya, lebih daripada proses-proses dalam tahap-tahap yang telah dijelaskan.

C. Pendekatan Dilihat dari Praktik Kritiknya
Dilihat dari bagimana kritikus melakukan kritikannya, menurut Abrams (1981) pendekatan ini dapat digolongkan menjadi (1) kritik penghakiman dan (2) kritik impresionistik. Untuk jelasnya kedua kritik tersebut dapat dilihat pada uraian berikut ini.

1. Kritik Penghakiman
Kritik penghakiman (judicial criticism) ialah kritik sastra yang berusaha menganalisis karya sastra dan menerangkan efek-efek sastra berdasarkan pokoknya, organisasinya, tekniknya, dan gayanya, serta mendasarkan pertimbangan individual kritikus atas dasar standar-standar umum tentang kehebatan atau keluar-biasaan karya sastra. Contoh kritik penghakiman dapat dilihat pada uraian berikut ini.
Membaca baris permulaan roman singkat Hamidah barangkali orang akan menyangka, inilah satu di antara pengarang sebelum perang yang menulis dengan teknik lain. Tetapi ternyata setelah kita lanjutkan membaca beberapa kalimat, teknik penulisannya seperti pada umumnya karya-karya masa itu: merupakan garis lurus dari awal sampai akhir. Hanya pengarang menggunakan kalimat-kalimat yang boleh menjadi kalimat akhir cerita sebagai pembuka cerita.
Plot lurus seperti ini, tanpak kecakapan pengarang akan mengundang kelemahan-kelemahan, di antaranya faktor rasa ingin tahu pembaca kurang terpusat karena datar dan kelurusan komposisi. Ditambah pula dengan dimasukkannya hal-hal yang tidak perlu sehingga merusak kesatuan. Rupanya apa yang dialami pengarang dijejalkan begitu saja tanpa mengingat nilai rasanya. Tanpa adanya pendalaman apakah sesuatu perlu dimasukkan dalam komposisi, akan menjadikan kesatuan rusak atau tidak wajar. Digresi atau penyimpangan serupa itu memang sering kita temui pada karya-karya sezamannya.
Penyakit menceritakan hal-hal yang tak perlu semakin melenyap seirama dengan menanjaknya halaman. Tetapi sekaligus telah pula menimbulkan bahaya lain, karena tampaknya pengarang ingin cepat-cepat menyelesaikan cerita. Dalam buku 72 halaman ini, 32 halaman bagian depan belum terisi apa-apa, baru setelah menginjak bab III halaman 35 mulai dengan isi yang agak padat. Kemudian inti buka hanya terletak pada bab IV, yaitu pada halaman 48 sampai tamat. Karenanya tidak mengherankan kalau bab IV terlalu padat, seolah hanya garis besar, sebab banyak hal yang masih harus diuraikan secara lebih luas. Bab IV ini menurut hemat saya berisi empat bab sekaligus pada halaman 64 mestinya ganti bab, juga halaman 66, demikian pula halaman 70.
Dengan gaya penceritaan yang kurang menarik, pengarang menyuguhkan kepada kita peristiwa yang meloncat-loncat: menceritakan keluarganya, sekolahnya, perjalanannya pulang setelah ia lulus dari sekolah Normal Putri, menanti pengangkatan, bertemu Ridhan, datang pengangkatan, mendirikan perkumpulan, pindah ke Palembang, kehilangan Ridhan. Kepulangannya ke Muntok membawa udara baru: bertemu kasih dengan Idrus, kasih yang keabadiannya segera terancam karena tiba-tiba ayahnya meninggal dunia dan ia mesti ikut saudaranya ke Jakarta. Saudaranya yang tidak senang pada Idrus menahan surat Idrus yang dialamatkan kepada Hamidah. Di sinilah peristiwa yang bersangkut-paut mulai bergerak untuk mengubah nasib Hamidah, hendak melepaskan diri dari belitan yang dengan rapi diatur saudaranya, ialah dengan menulis surat kepada Idrus. Dengan tidak adanya balasan dari Idrus, keadaan mulai memuncak. Keadaaan itu tidak segera ditarik pada klimaks. Klimaksnya baru tercapai setelah 10 tahun Hamidah hidup bersama Rusli: perceraiannya dengan suaminya. Suami yang dengan susah payah berhasil ia cintai itu telah berbahagia dengan anak dan istri mudanya. Hidup sendiri itulah akhir cerita.
Kelainan Hamidah dari pengarang sezamannya adalah pemakaian gaya aku, namun sayang tidak dikembangkan secara lebih jauh dalam teknik. Hal itu juga ternyata menyeret penampilan perwatakan, terutama dalam menampilkan tokoh-tokoh lain dalam cerita tidak hidup, sebab semuanya hanya diceritakan melalui tokoh utama. Melihat kedataran dan kelurusan komposisi, kemungkinan besar pemakaian tersebut disebabkan cerita itu merupakan pengalamannya sendiri. Tampaknya Hamidah bercerita persis seperti apa adanya, tanpa imajinasi yang mampu mengangkat karya itu.
Kegagalam teknik itu ternyata juga menyeret kegagalan setting yang tak mampu menciptakan ketegangan dan kerahasiaan cerita. Lingkungan dan kenangan di asrama Sekolah Normal Putri di Padang Panjang tidak diceritakan dengan alasan: tidak dapat kukatakan di sini. Karena itu tiba-tiba cerita melompat setelah ada kabar lulus. Cerita perjalanan pulang hanya sepintas tapi lengkap. Meskipun yang diceritakan itu seharusnya menarik, tetapi karena kepolosan gayanya menjadi tak begitu menarik (Prihatmi, 1977).
Contoh di atas memperjelas bahwa dalam melakukan pendekatan terhadap novel Kehilangan Mestika, karya Hamidah pengarang wanita pada masa Balai Pustaka. Prihatmi menggunakan pendekatan penghakiman dalam praktik analisis strukturalnya, menerangkan bagaimana organisasi novel tersebut, dengan mendasarkan pertimbangan individualnya atas dasar standar-standar umum dalam karya sastra. Misalnya ” Dalam buku 72 halaman ini, 32 halaman bagian depan belum terisi apa-apa, baru setelah menginjak bab III halaman 35 mulai dengan isi yang agak padat. Kemudian inti buka hanya terletak pada bab IV, yaitu pada halaman 48 sampai tamat”. Oleh karena itu, Prihatmi kemudian menjatuhkan penilaian bab IV terlalu padat, hanya garis besar, sehingga banyak hal yang belum diuraikan.
Prihatmi juga menilai bagaimana gaya penceritaan Hamidah dalam novel itu. Tulisnya gaya penceritaannya kurang menarik, peristiwanya meloncat-loncat. Juga menilai plot berdasarkan standar sastra. Plot lurus yang dipergunakan menurut penilaiannya lemah karena datar dan kelurusan komposisi plotnya. Penggunaan sudut pandang akuan juga dikomentari karena tidak mengembangkan secara lebih jauh dalam teknik. Kelemahan lain yang dilihatnya tampak juga dalam menampilkan tokoh-tokoh lain yang terasa tidak hidup.
Prihatmi dengan demikian, menilai bahwa novel Hamidah hanya memiliki bobot hampir cukup. Sementara kelebihan novel tersebut adalah dalam hal penyelaman psikologis dan mengharukan dari novel ini mampu menutup kelemahannya yang lain.

2. Kritik Impresionistik
            Kritik impresionistik ialah kritik sastra yang berusaha menggambarkan dengan kata-kata atau sifat-sifat yang terasa dalam bagian-bagian khusus atau dalam sebuah karya sastra, kemudian mengekspresikan tanggapan-tanggapannya (impresinya) yang diakibatkan secara langsung oleh karya sastra tersebut. Dengan demikian, kritik impresionistik adalah kritik sastra yang meninjau karya sastra berdasarkan kesan-kesan pokok yang ditangkap oleh kritikus atas karya sastra yang dikritiknya. Contoh kritik impresionistik`dapat dilihat berikut ini.
Membaca novel Pabrik bagaikan menangkap bajing genit. Berjingkat-jingkat membikin mangkel, melejit, meluncur deras dan mengejutkan, lalu lenggang kangkung sambil mengobral khayal. Kalau konsentrasi tidak dipegang kencang bisa jadi buku itu ditutup sebelum rampung. Namun bila kita telah terhanyut, semacam penyakit ingin segera tahu duduk persoalannya, sungguh menyiksa jantung kita.
Hemat saya, salah satu kekuatan Putu Wijaya dalam setiap novel dan dramanya adalah kebolehannya menyimpan misteri salah satu tokohnya. Orang Jawa bilang ”diincrit-incrit” sampai menggemaskan, baru disusul terungkapnya rahasia di luar dugaan pembaca.
Tokoh Maret dalam novel ini, sejak awal kisah (hlm, 5) dipenuhi kabut misteri. Ia seorang gadis cantik, ”mengandung, gila, dan sakit-sakitan”. Tirai baru terkuat setelah pembaca menahan nafas sampai pada halaman 115 (lima halaman menjelang kisah ini berakhir), lewat tokoh ”calon penyair yang gagal” yang menjabat sebagai direktur muda bernama Joni Tirtoatmojo.
Pembaca juga dibuat penasaran dengan tokoh bernama Mat Jegug, si raksasa berbadan gempal, dan berani memasukkan tangannya ke bawah selimut dan meraba ke bagian perut Maret (hlm, 20), lalu berpelukan di tempat yang gelap. Tentu saja membuat kalang-kabutnya tokoh Dargo yang telah mencintai Maret dalam sekali pandang (hlm, 8). Lewat pengakuan Joni, ternyata Mat Jegug adalah pengasuh, anak gelap sang direktur Tirtoatmojo.
Pendeknya dengan membaca novel ini, kita dapat membaca manusia dengan karakter yang bermacam-macam, yang penuh dengan berbagai macam konflik dengan latar belakang tunggal, sebuah pabrik yang dibangun di atas tanah milik manusia-manusia kecil yang tidak berdaya akibat sedotan si cukong Tirtoatmojo.
Kita juga dapat mengetahui bagaimana Tirtoatmojo merangkul penguasa bagaimana sikapnya terhadap bawahan, sampai antipatinya Tirtoatmojo terhadap Joni anaknya sendiri calon tunggal pemilik pabrik.
Simpati pembaca bisa juga tertuju kepada Susi (simpanan gelap sang direktur) yang sampai tua tidak kunjung memeroleh surat perkawinan sah yang memungkinkannya memeroleh warisan.
Dalam novel ini, tidak satu pun tokoh yang dibiarkan tanpa mengalami konflik batin dan memiliki masalah. Namun dengan rapihnya Putu Wijaya menjalin dari sepuluh orang tokoh dalam novel ini sehingga menjadi sebuah kisah yang menarik dan mengesankan (Rahmanto, 1998).
Demikianlah contoh kritik impresionistik yang hanya bersifat tinjauan karya sastra secara selintas berdasarkan kesan-kesan pokok yang ditangkap oleh penulisnya. Kritik ini  biasanya dimuat dalam surat kabar, atau majalah-majalah, baik umum maupun khusus. Kritik semacam ini biasanya disebut sebagai timbangan buku (resensi buku).



D. Pendekatan Dilihat dari Sifat dan Asalnya
            Dilihat dari sifat dan asal kritikusnya pendekatan ini dapat dikategorisasikan menjadi (1) kritik akademik dan (2) kritik nonakademik. Untuk lebih jelasnya kedua kritik tersebut dapat dilihat pada uraian berikut ini.

1. Kritik Akademik
Kritik akademik sering disebut sebagai kritik ilmiah, dan dilakukan oleh para ahli sastra yang pada umumnya sarjana sastra lulusan perguruan tinggi, dengan menggunakan teori dan metode ilmiah.
Menurut Pradopo (1994) kritik akademik dan kritik non-akademik memiliki ciri-ciri sehingga dapat dibedakan antara keduanya. Untuk lebih jelasnya ciri kritik akademik dapat dilihat uraian berikut ini.
a.       Kritikus ilmiah (kritikus akademik) adalah para ahli sastra lulusan perguruan tinggi yang biasanya bekerja sebagai dosen di fakultas sastra, para peneliti di LIPI, para peneliti di Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, dan Balai Peneliti Bahasa.
b.      Kritik ilmiah berupa skripsi, tesis, disertasi, makalah ilmiah, pidato ilmiah dan penelitian ilmiah, yang semuanya itu berupa pembahasan karya sastra yang konkret dengan menggunakan teori dan metode ilmiah.
c.       Kritik akademik menggunakan teknik penulisan ilmiah tertentu, dengan memergunakan buku petunjuk tertentu dalam hal penomoran bab-bab, pembuatan catatan, penunjukan referensi, sampai dengan penulisan buku, nama pengarang, dan pembuatan daftar pustaka.
d.      Kritik ilmiah memergunakan sistimatika ilmiah, misalnya dalam penyusunan urutan bab,sub-bab, dan fasal-fasal secara berjenjang.
e.       Dalam kritik ilmiah, teori dan metode sastra yang menjadi analisis dinyatakan secara tersurat, dan diuraikan dengan jelas.
f.       Kritik ilmiah memergunakan penunjukan referensi secara akurat mengenai: pengarang, nama buku, tahun terbit, penerbitnya, sampai pada halamannya dinyatakan dengan tepat.
g.      Pada umumnya kritik ilmiah berorientasi sastra secara objektif, memusatkan perhatiannya pada karya sastra itu sendiri dan menganalisis struktural dalamnya. Apabila kritik ilmiah dengan menggunakan pendekatan mimetik, pragmatik, atau ekspresif, maka syarat-syarat keilmiahannya pun harus dipenuhi.
h.      Metode kritik ilmiah adalah metode deduktif dan induktif.
i.        Kritik ilmiah memergunakan bahasa Indonesia yang baku.
Langkah-langkah yang dilakukan dalam rangka membuat kritik ilmiah terhadap suatu karya sastra, juga memergunakan metode ilmiah seperti misalnya, (1) Pendahuluan yang berisi: latar belakang,  fokus penelitain, tujuan penelitian, manfaat penelitian: manfaat teoritis dan manfaat praktis. (2)  Kajian pustaka yang berisi: penelitian sebelumnya dan teori-teori yang relevan dengan fokus penelitian. (3) Metode penelitia yang berisi: pendekatan penelitian, objek penelitian (data dan sumber data), teknik pengumpulan data, teknik analisis data, dan teknik pemeriksaan keabsahan data. (4) Simpulan dan saran (Azis, 2011).

2. Kritik Non-akademik
Kritik non-akademik sering pula disebut kritik non-ilmiah, ditulis oleh sebagian besar sastrawan atau wartawan dengan tidak menggunakan teori atau metode ilmiah. Kritik ini sering dipandang sebagai kritik yang tidak ilmiah mirip dengan  kritik impresionistik, ciri-ciri dan sifat-sifatnya sebagian besar merupakan kebalikan dari kritik ilmiah. Adapun ciri-ciri kritik non-akademik dapat dilihat pada uraian berikut ini.
a.       Kritik non-akademik biasanya ditulis oleh wartawan, atau para pakar lain yang berminat pada sastra tetapi tidak menggeluti bidang teori sastra secara suntuk.
b.      Bentuk kritikannya berupa resensi buku, artikel, esei-esei yang dimuat dalam surat kabar atau majalah, buletin, dan tabloid. Ada pula yang berupa kumpulan esei kritik yang pada umumnya telah disiarkan lewat surat kabar atau majalah.
c.       Kritik ini tidak menggunakan teknik penulisan ilmiah.
d.      Menggunakan sistematika, tetapi bukan yang ilmiah.
e.       Kritik jenis ini tidak secara tersurat menggunakan teori sastra tertentu, dan tidak  perlu menjabarkan segalanya menjadi eksplisit.
f.       Tidak menunjukkan referensi secara akurat, cukup menunjukkan buku tanpa perlu menyebukkan penerbit, tahun, dan halaman berapa.
g.      Pada umumnya kritik ini berorientasi ekspresif, pusat perhatiannya pada sastrawannya: perasaannya, pikiran, dan riwat hidup yang tercermin dalam karya sastra yang dikritik.
h.      Pada umumnya tujuannya bersifat impresionistik, hanya hal-hal pokok saja yang dikemukakan. Tidak ada analisis secara mimetik.
i.        Tidak menggunakan daftar pustaka, dan bahasa yang digunakannya tidak harus seluruhnya bahasa baku.











Tidak ada komentar: