Senin, 20 Juni 2011

PENDAHULUAN KRITIK


Memaknai apa yang dikemukakan oleh Teeuw bahwa teks sastra merupakan keseluruhan yang berhingga, yang tertutup, yang batasnya (awal dan akhirnya) diberikan dengan kebulatan makna. Barang buangan dalam pemakaian bahasa sehari-hari, “sampah bahasa” (bunyi, irama, urutan kata) yang dalam percakapan begitu dipakai begitu terbuang, dalam karya sastra tetap berfungsi, bermakna, malahan semuanya dimaknakan, dan dipertahankan maknanya.

Dalam menampilkan ungkapan, karya sastra pada satu pihak terikat pada konvensi, tetapi di pihak lain ada kelonggaran dan kebebasan untuk mempermainkan konvensi itu, untuk memanfaatkan secara individual, malahan untuk menantangnya walaupun dalam penentangan itu pun pengarang masih terikat. Pengarang terpaksa, demi nilai karyanya sebagai hasil seni untuk menyimpan baik di tingkat pemakaian bahasa, maupun di tingkat penerapan konvensi sastra. Akibatnya sistem sastra itu tidak stabil, sangat berubah-ubah. Setiap angkatan sastrawan mengubah konvensi itu sambil memaknainya dan menentangnya. Dengan begitu, sementara ini yang terpenting adalah sastra sebagai rekaan yang membina dunia otonom yang meminta untuk dinikmati demi dirinya sediri. Karya sastra adalah dunia bulat yang menunjukkan koherensi makna, dan karya sastra menonjolkan tanda bahasa itu sendiri yang harus disemantiskan terus-menerus.

Bertemali dengan apa yang diungkapkan Teeuw, Wellek dan Warren menyatakan bahwa karya sastra sebagai seni bukanlah objek yang sederhana, tetapi mendekati sebuah organisasi yang berlapis-lapis dan rumit susunannya dengan banyak kemungkinan makna dan hubungan. Oleh karena itu, untuk memaknai sebuah organisasi yang berlapis-lapis dan rumit susunannya, diperlukan ilmu sastra yaitu teori sastra, sejarah sastra, dan kritik sastra yang saling terkait. Dengan begitu keterkaitan antara ketiga ilmu sastra itu (1) teori sastra merupakan bidang studi sastra yang membicarakan, pengertian-pengertian dasar tentang sastra, hakikat sastra, prinsip-prinsip sastra, latar belakang, jenis-jenis sastra, dan susunan dalam karya sastra, serta prinsip-prinsip tentang penilaian sastra; (2) sejarah sastra merupakan bidang studi sastra yang membicarakan, tentang perkembangan sastra, ciri-ciri dari masing-masing tahap perkembangan karya sastra tersebut, situasi sosial masyarakat dan idologi yang semuanya; dan (3) kritik sastra yang dalam eksistnsinya sendiri turut serta membicarakan, analisis, interpretasi, dan menilai karya sastra.

­ Ketiganya memiliki hubungan yang erat dan saling mengait. Sebagaimana teori sastra yang sudah pasti membutuhkan kerja sama dengan sejarah sastra. Sejarah sastra yang tidak bisa dipisahkan dari teori dan kritik sastra, begitu juga dengan kritik sastra yang membutuhkan adanya teori dan sejarah sastra (Baribin, 1993).

Apabila diperhatikan hal di atas, maka akan diperoleh sebuah kesimpulan bahwa sebuah karya sastra tidak akan mampu dipahami, dihayati, ditafsirkan dan dinilai secara sempurna tanpa adanya itervensi dari ketiga bidang ilmu sastra tersebut. Sebuah teori sastra tidak akan pernah sempurna jika tidak dibantu oleh sejarah dan kritik sastra; begitu juga dengan sejarah sastra yang tidak dapat dipaparkan, jika teori dan kritik sastra tidak jelas; dan kritik sastra tidak akan mencapai sasaran, apabila teori dan sejarah sastra tidak dijadikan tumpuan.

Uraian tersebut diperjelas oleh Pradopo bahwa untuk memberi penilaian karya sastra diperlukan teori tentang penilaian, bagaimanakah karya sastra yang baik, syarat-syarat apakah yang harus dipenuhi oleh suatu karya sastra supaya dapat bernilai sastra dan sebaliknya apakah yang membuat karya sastra kurang bernilai atau tidak bernilai. Teori sastra pun memerlukan bantuan kritik sastra, misalnya untuk menyusun teori tentang gaya, atau tentang teknik cerita, teori sastra dapat mengambil dari hasil kritik terhadap karya sastra. Untuk menyusun sejarah sastra diperlukan teori sastra, misalnya teori tentang sejarah sastra, tentang angkatan sastra, bagimana menggolong-golongkan karya sastra ke dalam suatu priode, menyusun priode sastra. Teori sastra pun memerlukan sejarah sastra, juga sejarah sastra memberikan sumbangan kepada kritik sastra, misalnya untuk mengetahui ciptaan asli atau tidak, gaya klise atau bukan. Kritik sastra dapat mengambil pengetahuan dari sejarah sastra. Sebaliknya untuk menyusun sejarah sastra diperlukan bantuan kritik sastra, karena untuk menentukan bernilai tidaknya karya sastra diperlukan bantuan kritik sastra (Pradopo, 1997).

Pada zaman Aristoteles hanya ada dua genre, yaitu puisi dan drama, sementara drama dibagi dalam tiga subgenre,yaitu tragedi, komedi, dan tragedi-komedi. Di antara tiga subgenre itu, yang dianggap paling tinggi nilainya adalah tragedi. Karena drama juga ditulis dalam genre puisi, maka hanya sastra yang baik dianggap memiliki nilai puitis (poetic) yang tinggi.

Nilai puitik drama tragedi ditentukan oleh tiga faktor, yaitu pity, terror, dan catharsis. Contoh ketiga faktor itu dapat dilihat dalam semua drama tragedi Yunani Kuno sampai dengan drama William Shakespeare pada abad ketujuh belas (Darma, 2004).

Membaca dan menilai sebuah karya sastra bukanlah sesuatu yang mudah, setiap pembaca fiksi (novel, cerpen, atau roman) ataupun puisi, baik modern ataupun klasik, pasti si pembaca pernah mengalami kesulitan, merasa tidak memahami apa yang dimaksud oleh pengarangnya.

Kita dapat mengatakan bahwa proses membaca, yaitu memberi makna pada sebuah teks tertentu, yang kita pilih, atau dalam proses pengajaran misalnya, kita dipaksa memahami suatu teks tertentu yang memerlukan pengetahuan sistem kode yang cukup rumit, kompleks, dan aneka ragam. Menurut Teeuw, kode pertama yang harus kita kuasai kalau ingin memberi makna pada teks tertentu adalah kode bahasa yang dipakai dalam teks itu, ambillah misalnya sepenggal ungkapan berikut ini.

Indiomaq maqhaloa mappogau pakkasiwiang bongi allo di Puang Allah Taala

Teks tersebut merupakan penggalan cerita I Daramatasia termasuk cerita rakya Mandar (Sulawesi Barat) yang berbentuk naratif cukup popular bagi masyarakat etnis Mandar dan Bugis (ceita ini bersifat anonim tidak dikenal siapa penciptanya). Syarat mutlak untuk memahaminya ialah kemampuan membaca bahasa Mandar yang sebaik-baiknya dan memahami kosakatanya. Oleh karena itu, si pembaca dapat memahami makna penggalan cerita I Daramatasia, yang kemungkinan terjemahannya:

Di situ saya berkhalwat melakukan penyembahan malam siang kepada AllahTaala (di situ saya berkhalwat melakukan penyembahan siang malam kepada Allah Taala).

Pengetahuan kode bahasa Mandar kemungkinan bagi sebagian pembaca belum cukup untuk memahami dengan jelas maksud penggalan cerita tadi. Oleh karena itu pembaca harus memahami pengetahuan kode budaya Mandar.

Kode budaya pun bermacam-macam, dan kemungkinan sangat berbeda dengan kode budaya kita sendiri, kemungkinan pula ada kode budaya di daerah tertentu yang mirip dengan kode budaya kita dalam kehidupan sehari-hari. Ambillah misalnya ungkapan Makassar berikut ini.

Abbulo sibatang paki antu, mareso tamattappu nanampa nia sannang ni pusakai

Terjemahannya: abbulo sibatang paki antu mareso tamattappu: bambu sebatang semua kita bekerja tak putus-putus; nanampa sannang ni pusakai: kumudian senang dimiliki.

Makna ungkapan tersebut bahwa “bekerja dengan jujur dan bersatu akan menghasilkan pekerjaan yang tak terhenti sebagai tugas memberi kesenangan dan keberuntungan.”

Ungkapan abbulo sibatang bagi etnis Makassar dijadikan palsafah dalam bermusyawarah; bergotong royong melakukan suatu tugas atau tantangan dengan kejujuran untuk hasilnya mendatangkan keberuntungan dan dinikmati orang banyak.

Kode budaya, sementara ini menjadi penjelas memahami makna sebuah teks, karena kode sastra tidak kurang pentingnya buat memahami teks sastra yang sementara kita baca. Kendatipun tidak mudah dipisahkan antara sastra dan kode budaya, tetapi pada dasarnya kita harus membedakan antara keduanya (sastra dan kode budaya). Dengan begitu, untuk memahami ungkapan; pepatah (paruntuk kana dalam bahasa Makassar) tersebut, kita harus memahami kode ungkapan Makassar (urutan kata, pilihan kata, struktur kalimat, pemakaian bunyi) agar kita dapat memberi makna utuh pada kutipan tersebut yang merupakan kode khas sastra Makassar.

Karena kode sastra pun merupakan sistem yang cukup ruwet dan sering kali bersifat strata dengan banyak macam variasi. Ambillah misalnya penggalan cerpen Hamzat Rangkuti yang berjudul Kado Perkawinan berikut ini.

Sejak bisa mengingat sampai Rabiah tamat SMP, dan tetap merasakan ejekan yang sama, yang selalu dilontarkan orang kepadanya. Ia selalu ingat bahwa orang senantiasa berbisik di belakangnya kalau mereka lagi tidak senang terhadap dirinya. Bisikan itu selalu dapat didengarnya walaupun dari jarak jauh. Terkadang orang mungkin mengatakan yang lain. Dia akan tersinggung mendengar kata-kata itu diucapkan di depannya. Kata-kaya yang menyakitkan itu seperti sembilu yang ditusukkan ke ulu-hatinya di dalam dada. Kata-kata ”gunting”, ”pisau cukur”, ”sisir”, ”pengetam rambut”, adalah semacam cuka yang dicurahkan ke atas luka yang menggores permukaan hati di dalam dadanya itu.

Seorang pembaca Indonesia modern tidak mengalami kesulitan apa pun juga untuk memahami secara harfiah kutipan cerpen tersebut. Tepatlah apa yang dikemukakan oleh Teeuw bahwa membaca cerita sebagaimana penggalan cerpen di atas memerlukan sikap pembaca yang berbeda secara asasi dengan misalnya kita membaca laporan kejahatan, berita koran, riwayat perjalanan. Kode pokok adalah kode bersastra yang tidak menghubungkan makna kata dan kalimat dengan keadaan atau peristiwa di dunia nyata.

Oleh karena itu, yang membaca penggalan cerpen di atas, walaupun mengerti kata-kata dan kalimatnya, mungkin akan keliru seandainya kutipan tadi dipahaminya sebagai kejadian dalam dunia nyata,yang pernah terjadi dan dialami oleh orang yang menulis kalimat-kalimat dalam cerpen tadi. Tanpa pengetahuan akan sifat kutipan sebagai rekaan, pembaca tidak akan mengertinya, tidak akan memberi makna yang sewajarnya, pembaca akan tersesat dalam menginterperetasi.

Untuk memahami sebuah karya sastra, dengan demikian pembaca harus menguasai berbagai macam kode, baik kode bahasa, maupun kode budaya, pun kode bersastra yang khas. (Teeuw, 1991).

PENGERTIAN KRITIK