Jumat, 10 Oktober 2014

PELAKSANAAN DAN TEKNIK KRITIK SASTRA



PELAKSANAAN DAN TEKNIK KRITIK SASTRA


A. Pelaksanaan Kritik Sastra
                Dalam pembicaraan mengenai pelaksanaan kritik sastra ini, dipergunakan hasil kritik yang berupa buku yang sudah diterbitkan. Sementara itu, memetik beberapa hasil kritik sastra yang diakses di internet (website, beloger, dan semacamnya) melalui google; menyunting hasil-hasil kritik dari beberapa kritik ilmiah yang telah dikerjakan oleh beberapa mahasiswa sastra baik pada jenjang strata satu, starata dua, maupun strata tiga. Hal ini dilakukan sehubungan masih relatif kurangnya  bahan atau materi yang sesuai tujuan yang ingin dicapai dalam pembelajaran mata kuliah Kritik Sastra.
            Tepat pula apa yang diuraikan oleh Pradopo bahwa hasil-hasil kritik sastra itu berupa pidato radio, timbanga buku, esai-esai dalam majalah, ceramah dan seminar, dan studi yang berbentuk buku. Kebanyakan berupa fragmen-fragmen, artinya hanya mengenai seorang pengarang, atau hanya meninjau genre sastra tertentu, misalnya hanya cerita pendek saja atau hanya roman atau novel saja.
            Berikut dipaparkan timbangan Chairil Anwar yang kita bandingkan dengan timbangan H.B. Jassin,  atas sajak Waluyati yang berjudul Berpisah.
            Berpisah
Bersama-sama bunga digubah
Menjadi rangkaian halus mewangi
dan pulang kita bersuka hati
di kala surya terbenam merah

Di jalan simpang kita berpisah
Gubahan bunga gemetar di tangan
dan sambil kita berpandangan
jatuh rangkaian dua sebelah
Kuambil seutas, setengah lagi
Kau pegang erat, dan aku melompat. . .
Di kala senja kujalan sendiri
Hanyalah bunga kau bawa lari
Mengirimkan wanginya ke arahku lagi

                Berpisah, adalah suatu sajak yang indah, dan salah satu sajak romantik yang menjadi, dalam arti berhasil dalam memberi pembayangan. Dalam bentuk juga masih tradisi Pujangga Baru (Chairil Anwar, 1946).
            Tentulah kritik atau pertimbangan Chairil ini bukan memenuhi tuntutan kita meskipun pendapatnya dapat kita terima sebagai sebuah penilaian. Akan tetapi, bila dimaksudkan sebagai kritik sastra yang hendak menerangkan secara tepat, mestinya sajak itu dianalisis lebih lanjut bagaimanakah berhasilnya, juga bagaimana uraian tentang bentuknya yang dikatakan masih tradisi Pujangga Baru itu.
            Berikut pertimbangan H.B. Jassin atas sajak Waluyati yang berjudul Berpisah.
              “Di jalan bersimpang kita berpisah”
Menimbulkan  dalam angan-angan kita lukiskan jalan bersimpang. Dan bagi penyair persimpangan itu menimbulkan pula asosiasi perpisahan. Maka kalimat ini selain memunyai daya melukiskan, pun memunyai daya asosiasi. Daya melukiskan dari kata-kata disebut plastik.
            “Gubahan bunga gemetar di tangan”.
 Selain lukisan bunga bergetar di tangan yang bisa dilihat dengan mata angan-angan, gemetarnya tangan menimbulkan pula asosiasi pengertian keterharuan.
            “dan sambil kita berpandangan
            jatuh ragkaian, dua berbelah”

            Perasaan  terharu, kasih, sedih, seperti biasanya pada pandangan perceraian antara yang berkasih-kasihan, terkandung dalam kalimat yang pertama. Lukisan berpisah ditegaskan lagi oleh keterangan : jatuh rangkaian, dua berbelah/ di dalam kuplet yang berlebihan/ di kala senja kujalan sendiri/ hanyalah bunga kau bawa lari/ mengirimkan wanginya ke arahku lagi”
Kita berkenalan dengan asosiasi panca indera penciuman. Seolah-olah saban penyair melalui jalan simpang seorang diri di kala senja, terciumlah wangi bunga yang dibawa kekasihnya lari. Teranglah bahwa sajak di atas ini sangat plastis. Memunyai daya menimbulkan lukisan dalam angan-angan, serta pula memunyai daya asosiasi, artinya menimbulkan pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan yang merembet.
Pertimbangan Chairil terhadap sajak Waluyati pada dasarnya punya persamaan atas pertimbangan H.B.Jassin, kedua-duanya berpendapat bahwa sajak itu berhasil dan indah. Sebagaimana dalam uraian H.B. Jassin, ia menunjukkan dengan konkret dan memberikan keterangan yang cukup tentang keistimewaan sajak itu. Dengan uraian yang konkret itu timbangan Jassin dapat diterima karena pertibangan itu memenuhi tuntutan kritik sastra menurut metode literer. Sementara itu pernyataan Jassin sudah dapat diterima karena sudah diberi bukti-bukti yang konkret dan jelas.  
Berikut berupa pernyataan Boejoeng Saleh mengenai para sastrawan terkemuka, misalnya:
1.   Pramoedya Ananta Toer, memunyai intuisi yang tajam akan watak-watak dan perasaan-perasaan manusia. Ekspresinya langsung, padat, dan sederhana hingga karenanya dapat mengikat sekalipun kadang-kadang agak skematis dan gubahannya (komposisinya) kadang-kadang tak terpelihara. Ia berperikemanusiaan yang kuat dan militant menentang penindasan terhadap apa pun juga. Di dalam melukiskan kepincangan-kepincangan masyarakat ia tajam menyindir dan pahit mengejak, terkadang hingga-hingga kasar. Ia seorang pengenal kehidupan rakyat yang baik. Apa yang baik padanya ia jarang menghukum tokoh-tokoh selaku hakim yang geram, melainkan ia selalu memaafkan mereka dengan penuh belas kasihan. Hanya di sana sini ia agak menggeneralisasikan tokoh-tokohnya. Beberapa ceritanya di waktu-waktu terakhir agak semrono.
2.   Idrus,  dia humorir dan daya memperhatikan yang halus dan tajam sebagai modalnya. Tapi, janganlah hendaknya ia bermain-main dengan humornya seperti dalam “Surabaya”, di mana ia tidak berhasil memandang keadaan-keadaan dan kejadian-kejadian di dalam proporsi sebenarnya. Terkadang ia memboroskan bakat dan tenaganya seperti di dalam Perempuan dan Kebangsaaan, Kejahatan Membalas Dendam, dan Susu Kaleng Kabinet Su-su, di mana dia mengalami kegagalan sama sekali. Gaya bahasanya lincah dan menampakkan antara lain adanya pada dia pengaruh Ilya Ehrenburg, terutama di dalam bukunya Hari Penciptaan Kedua. Hanya barangkali kurve Idrus di waktu belakangan sedang menurun.
3.   Chairil, bagi saya penting bukan terutama karena keaslian perbandingannya, melainkan sebagai pemeras sebanyak-banyak segala kemungkinan dengan bahasa Indonesia di dalam puisi. Kepekaan, kekayaan, dan keplastisan bunyi serta kelangsungan ungkapanlah yang membuat puisinya hingga kini belum di atasi oleh penyair Indonesia lainnya. Hanya plagiatnya yang mengurangi nilainya sebagai manusia dan penyair.
4.   Ajip Rossidhy,  ia menggambarkan kehidupan desa, pada mana ia seorang anak desa tulen masih berakar. Bukunya adalah Tahun-tahun Kematian. Kedua-duanya (dengan SM Ardan) memberikan “janji” untuk masa datang, tapi apakah “janji” itu akan mereka tepati sepenuhnya, waktulah akan membuktikannya.
Sementara ini, kita perhatikan cara kerja para kritikus sastra Indonesia modern yang pertama kita perhatikan H.B. Jassin berikut ini.
H.B. Jassin, membuat kritiknya, yakni mengupas berbagai masalah yang dihadapai para pengarangnya yang terbeber dalam karya sastranya. Ia meninjau dari segala aspek sastra, mudahnya dari segala bentuk dan isinya. Jadi ia sudah memenuhi harapan bagaimana seharusnya menganalisis karya sastra, yaitu menganalisisnya berdasarkan struktur lapis-lapis normanya, menafsirkan kehidupan penyair, juga kepada bentuk-bentuk sastranya. Dalam studi, kritik dan esainya ia menafsirkan kehidupan sastrawan-sastrawan itu dengan menganalisis pandangan hidupnya, keagamaannya, kegiatannya, kefilsafatannya, rasa perikemanusiaannya, sampai kepada bentuk-bentuk karya sastra sebagai alat pengungkapan pengalaman jiwa yang diungkapkan oleh para sastrawan.
Dengan demikian, H.B. Jassin menganalisis karya sastra seperti tuntutan metode analisis yang semenstinya, yaitu menganalisis karya sastra berdasarkan struktur normanya. Seperti bunyinya, kata-katanya, arti kata, perlambangan, kiasan, kombinasi kata, kalimat dunia pengarang, pandangan hidup dan kemanusiaan pengarang, pandangan metafisika dan sebagainya.
Kendati demikian, sering kritik Jassin tidak dapat dilihat sampai di mana nilai sastra penyair atau sastrawan karena dalam pembicaraan tiap-tiap karya satrawan dipergunakan pola-pola pembicaraan. Lagi pula sering pembicaraannya hanya bersifat analisis formal, tidak sampai kepada penilaian. Untuk lebih jelasnya diperhatikan kutipan berikut ini.
Satu keistimewaan dalam puisi Amir Hamzah ialah percampuran bentuk syair dan jiwa pantun, kadang-kadang kombinasi bentuk syair dan bentuk pantun. Bentuk syair berpola a a a a yang bernafaskan jiwa pantun, misalnya sajak Buah Rindu berikut ini.

Ibu, lihatlah anakmu muda belia
Setiap waktu sepanjang masa
Duduk termenung berhati duka
Laksana asmara kehilangan seroja

Bunda waktu tuan melahirkan beta
Pada subuh kembang cempaka
Adakah ibu menaruh sangka
Bahwa begini peminta anakda?

(lalu seterusnya susunan pantun berpola a b a b dan jiwa pantun)

Wah kalu begini naga-naganya
Kayu basah dimakan api
Aduh kalau begini laku rupanya
Tentulah badan lekaslah fani

Di tengah sajak berbentuk syair tiba-tiba ia berpantun, menunjkkan betapa hidupnya masih rasa pantun dalam jiwanya. Misalnya dalam Buah Rindu II, di tengah-tengah, yang seharusnya. (pada bait ketiga ), dan yang seperti berikut ini.
Ibu, konon jauh tanah selindung
Tempat gadis duduk berjuntai
Bunda hajat hati memeluk gunung
Apatah daya tangan tak sampai.

Setelah diperhatikan kritik Jassin seperti yang terlihat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Jassin mengeritik karya berdasarkan analisis formalnya saja, tanpa dihubungkan dengan penilaian, berhasil atau tidaknya pengungkapan jiwa pengarang dengan bentuk-bentuk yang dipakai itu. Jadi bentuk tidak dapat lepas dari pemikiran yang diungkapkannya. Dengan demikian Jassin hanya mengutip seluruh sajak tanpa diapa-apakan. Oleh karena itu Teeuw mengeritik Jassin . . . betapa pena Jassin sudah hendak menjadi tumpul”. Ada pula yang menuduh bahwa ia bersikap “kesarjana-sarjanaan” dalam arti bahwa analisisnya bersifat formal, meninjau karya sastra dari segi-seginya yang tampak oleh mata, tanpa dihubungkan dengan penilaian apa yang diungkapkan dengan bentuk itu.
H.B. Jassin sebagai seorang kritikus yang terutama dan yang berpengaruh, maka pola-pola kritiknya banyak diikuti oleh kritikus-kritikus lain, termasuk pola pembicaraannya yang hanya berupa penceritaan kembali karya-karya yang dibacanya itu; juga termasuk analisisnya yang sering hanya bersifat formalitas itu. Mengeritik karya sastra dengan cara demikian itulah yang paling mudah.
Karena kritiknya obejktif terutama ketika ia mengeritik sastrawan-sastrawan yang belum terkenal, oleh karena itu para sastrawan yang dikritik menjadi “terkenal”. Dalam bukunya Analisa, sungguh-sungguh ia memberi penerangan kepada pembaca yang ingin melihat nilai karya-karya sastra yang dikritiknya itu, Jassin tidak hanya menganalisis secara formal saja, tidak hanya menceritakan kembali isi cerita saja, tetapi sungguhlah ia memberi penilaian kepada “bentuk” dan “isi”nya.
Misalnya dalam menyorot cerita pertama “Kepanjangannya” cerita pendek Rijono Pratikto, ia mengemukakan keistimewaan pengarang disertai dengan urutan yang cukup dapat diterima, yaitu keistimewaannya membangun cerita. Akan tetapi di samping itu, ia menunjukkan kekurangan dan kelemahan cerita itu. Sebagaimana uraian berikut ini.
Rijono telah berhasil menambat hati pembaca dan menimbulkan perasaan ngeri sampai akhir cerita. Daya menambat inilah kekuatan Rijono. Dan kita pun percaya bahwa banyak kerahasiaan masih di belakang dunia kita yang lahir ini. Tapi, apabila dikatakanya bahwa ceritanya hanyalah mimpi, kita pun jadi kecewa dan kita merasa tertipu. Inilah yang saya anggap sebagai kekurangan dalam cerita ini. Kita tidak keberatan terhadap irealisme, irealisme yang tulen.

Contoh yang lain dalam menganalisis cerita pendek Nugroho Notosusanto, Jassin tidak hanya menganalisis secara formal saja, tetapi juga menunjukkan efek puitis kaliamat-kalimat dan gaya yang dipergunakan oleh pengarang sebagai berikut.
Humor jadi bumbu yang enak dalam cerita ini. . . Awal cerita sudah memberi kita kesan tentang jiwa pengarang yang memunyai daya lenting, melihat segala dalam pertentangan yang menggelikan, juga yang harus mengesalkan hati.
Perhatikanlah kalimat yang pertama” “pada suatu malam yang kuyub (1) dengan hujan, (2) aku pulang dari sebuah rendezvous yang hangat )3) dan romantik (4)” . kalimat ini menimbulkan senyum. Mengapa? Karena pertentangan-pertentangan kesan yang terdapat di dalamnya. Bagian yang pertama: “Malam yang kuyup dengan hujan” memberi kesan umum yang sebaiknya dari apa yang dikatakan dalam bagian kedua: “rendezvous yang hanyat dan romantis”.

Dengan bukti-bukti dan keterangan yang jelas, dapat dipertanggungjawabkan, pembaca, kita dapat menjadi mengerti dengan terang bagaimana baik buruknya dan keistimewaan karya yang dikritiknya itu. Kritik sastra yang demikian itulah yang kita harapkan.
Amal Hamzah,  sebagian besar kupasannya hanyalah berupa ringkasan cerita, penceritaan kembali, uraian tentang watak pelaku. Sedangkan tentang soal-soal yang lain sedikit sekali dibicarakan. Dapat dikatakan tentang soal-soal yang lain sedikit sekali dibicarakan. Hampir tidak ada analisis strukur lapis norma karya sastra. Apabila ada analisis tidak sampai pada penilaian. Dengan demikian nilai kupasannya hanya sampai kepada memperkenalkan penulis-penulis Indonesia kepada umum. Di antara kupasannya yang agak berarti adalah tibangan kepada buku Sukreni Gadis Bali karangan  I.G.N. Panji Tisna, karena dalamnya ada analisis tentang watak dan sampai kepada penilaian, disertai keterangan yang dapat diterima, sebagaimana uraian berikut ini.
Ada beberapa kelemahan buku ini, misalnya: Sukreni adalah kakak dari I Negari dan anak dari Men Negara. Dalam hendak mencelakakan Sukreni oleh kedua orang itu hendaknya dibayangkan dahulu dengan secara halus bahwa ada bisikan kepada kedua orang itu untuk menahan-nahan dia melakukan pekerjaan tersebut. Di sini perlu perasaan dan penguraian secara psikologis yang tajam. Agak aneh terasa bahwa Men Negara dan Negari terus saja mau menjerumuskan orang yang bermalam di rumahnya. Kita kurang benar dibiasakan oleh penulisnya dengan kejahatan-kejahatan Men Negara. . . Itulah maka kita agak kaget melihat bagaimana kejamnya Men Negara menjerumuskan gadis yang datang menumpang di kedainya itu. Lebih-lebih gadis yang datang itu adalah anaknya yang lahir dari suaminya dulu.

Dalam kupasan-kupasan yang lain Amal Hamzah tidak memberi bukti-bukti hingga tidak menjelaskan kepada pembaca, misalnya kritiknya terhadap Layar Terkembang. “percintaan antara Yusuf dan Maria indah digambarkan oleh penulis. . . bahasanya hidup dan pemandangan alam yang di kitab itu baik sekali.
Kritiknya yang lain, terlihat pada tulisan Iskandar (Hulu Balang Raja). Amal mengemukakan bahwa Iskandar sebagai penulis kurang pandai menangkap perhatian orang. Benar bukunya tebal, tetapi lembaran-lembaran yang banyak itu dia merata saja. Jarang sekali nafas pembaca tersangkut karena terharu atau gerahan pembaca mengerik karena marah ataupun tertawa besar karena lucu. Dikatakan Iskandar bukan romantik yang hidup dan mati, menangis dan galak dengan orang-orang yang hidup dan dimatikanya dalam bukunya.
Dibawah Lindungan Kaabah karya Hamka, Amal hanya meninjau cara melukiskan perasaan saja, sedangkan hal-hal yang lain tidak disoroti yang sesungguhnya lebih penting. Hal ini sama dengan Belenggu  hanya meringkas dan memberi komentar tentang tingkah laku para pelaku, ia tidak menganalisis struktur normanya. Pada I Swasta Setahun di Bedahulu, Sabai Nan Aluih, dan Asmara Jaya, Amal cuma membuat ringkasan ceritanya tidak sampai kepada penilaian, sebagai tuntutan kritik sastra terhadap karya sastra sebagai karya seni.
Ajip Rosidi, mempergunakan ukuran subjektif  dalam menilai karya-karya sastra, yaitu didasarkan pertmbuhan penilaian dalam dirinya sendiri. Sebagaimana uraiannya, “Apa yang beberapa tahun yang lampau saya anggap baik, belum tentu sekarang masih sebagus itu. Dan begitu pula apa yang beberapa tahun berselang saya anggap kurang bagus atau jelek. Dengan berdasar pada pernyataan Ajip, maka analisisnya subjektif, dan ternyata ukurannya itu tidak konsekuen dengan pernyataannya, “Kita tetap sadar bahwa yang kita hadapi  hasil sastra yang menuntut mengutaraan dan penceritaan secara sastra, yang mengenai hukum-hukum keindahan dan keharuan dan keselarasan.  Bila dia mempergunakan hukum-hukum penilaian ini tentu tidak akan berubah-ubah pandangannya. Dengan ukuran yang tidak tetap itu, tentulah tidak dapat dipegang pendiriannya. Sebagai contoh kupasan Ajip dapat dilihat uraian berikut ini.
Yang paling baik dan bulat secara keseluruhan adalah “Kisah Martini”  yang melukiskan Martini, seorang janda muda, main api dengan Herman, seorang anggota perlemen yang bersemboyan: mereguk hidup sepuas-puasnya. Dalam melukiskan pertumbuhan cinta dalam diri Martini melalui kejadian-kejadian kecil yang namun diperhatikan oleh kaum wanita sampai kepada pelukisan perjuangan batin Martini tatakala ia hendak menggugurkan kandungannya. Achdiat sangat kuat dan menguasai diri. Dalam cerpen ini tidak ada yang lebih atau dibikin-bikin, semuanya lengkap dan bulat. Dalam mengungkapkan kewanitaannya yang halus namun mesra. Achadiat pun dikatakan berhasil bahkan sangat berhasil.

Dengan melihat kutipan di atas nyatalah Ajip membicarakan cerita itu hanya dengan meringkas cerita. Hal yang demikian ini lebih jelas dapat kita lihat ketika Ajip membicarakan cerita-cerita Idrus. Setelah Ajip membicarakan diri Idrus, lanjut memceritakan kembali Idrus menurut liku-liku pikiran Idrus menurut interpretsinya.
M.S. Hutagalung, Jalan tak Ada Ujung, karya Mochtar Lubis adalah hasil sorotannya yang ditinjau dari sudut ilmu jiwa dalam, filsafat esksistensialisme dan sosiologi, meninjau gaya bahasanya, dan juga menguraikan latar belakang cerita tersebut.
  Akan tetapi, sayang karena adanya proporsi yang tidak seimbang, menurut Hutagalug, Mochtar terlalu banyak menguraikan latar belakang dan menguraikan teoria-teori, sedangkan pembahasannya agak berifat penafsiran saja. Kurang langsung menghubungkan dengan penilaian dan deskriptif, ia hanya mengemukakan contoh-contoh tanpa diuraikan sampai di mana berhasilnya sebagai pernyataa sastra.
Pada Bab I, II, III, dan IV skripsi Mochtar, ia menguraikan latar belakang penulisan berupa “Pengantar”, “Riwayat Hidup”. Bab V, berupa pembicaraan bentuknya, roman atau novel, dan ringkasan ceritanya, pada Bab VI  ia menguraikan gaya bercerita Mochtar, tetapi terasa uraiannya seperti ulangan ringkasan cerita. Cara penyusunan ceritanya tidak disoroti berhasil atau tidaknya. Bahkan ia menyoroti keberatan-keberatannya yang tidak ada hubungannya dengan gaya ceritanya. Sementara itu, pada bab vi ini, ia menguraikan ilmu jiwa dalam dan pengaruhnya pada Jalan Tak Ada Ujung, tetapi hanya disebutkan secara deskriptif, tidak langsung dihubungkan dengan penilaian. Baru pada Bab X hal perwatakan baru dihubungkan dengan penilaian, demikian pula tinjauannya yang analitis dan deskriptif itu, hubungannya menjadi agak kabur hingga dasar penilaiannya pada perwatakan agak tidak jelas.
Pada Bab XI ia meninjau gaya bahasa, sifatnya deskriptif juga, hanya memberi contoh-contoh peristiwa-peristiwa gaya bahasa dan menerangkan kegunaan gaya bahasa itu secara umum, tetapi tidak diterangkan sampai di mana berhasilnya pemakaian gaya itu secara khusus. Sebagaimana pernyataan Hutagalung berikut ini.
Pada ummnya Mochtar Lubis dapat membuat kesegaran dengan ungkapan-ungkapan dan perbandingan-perbandingan yang baru. Dengan lincah ia sanggup melukiskan suasana dengan kombinasi-kombinasi kata, kalau perlu kadang-kadang mengulang kalimat atau kata-kata sampai empat kali.
M.S. Hutagalung meninjau kesalahan penggunaan gaya bahasa Mochtar Lubis, karena mengingat pekerjaan Mochtar sebagai wartawan yang ingin menulis sesuatu dengan cepat hingga tidak lengkap. Akan tetapi peninjauan Hutagalung bersifat peninjauan dari sudut tatabahasa normatif, agak mengabaikan fungsi-fungsi kalimat pada karya sastra untuk pernyataan yang ekspresif. Misalnya kejanggalan yang terdapat pada (hl, 76) “perasaan guru Isa dengan sedikit”; “dia merasa dia terbang” (hl, 77). Kiranya kaliamt seperti itu yang dimaksudkan sebagai pernyataan eskpresif, yang memang disengaja oleh pengarangnya. Kalimat yang sangat janggal menurut Hutagalung terdapat pada  (hl, 64 dan 66). “Si Ontong yang duduk di sebelah kiri Hazil adalah rupa buaya  yang jika dibayangkan oleh Guru Isa haruslah berupa si Ontong ini.
Berdasar atas kritik tersebut, Hutagalung menyimpulkan bahwa teori-teori penilaian W. Somerset Maugha, Hudson, dan George Henry Luwes, terasa hanya sampai di kulit dari teori-teori yang dipinjam untuk menilai, sebagaimana pernyataan Hutagalung berikut ini.
Saya rasa Jalan Tak Ada Ujung mengenai perjuangan manusia memunyai rasa takut. Manusia ingin mengetahui tentang dirinya sendiri. Soal-soal seksual yang banyak terdapat di dalam buku ini akan terus menarik tua muda.
Menarik tidaknya persoalan yang dikemukakan bukanlah pertimbangan  mutlak untuk menentukan bernilai tidaknya karya sastra. Hal itu adalah soal selera mesyarakat.

B. Teknik Kritik Sastra
            Karena belum ada kritik sastra yang tersusun secara lengkap hingga dapat memberikan gambaran perkembangan sejarah kesusastraan Indonesia  modern, dari mulai lahirnya hingga kini. Karya-karya yang berupa kritik itu baru merupakan pembicaraan mengenai sastrawan-sastrawan yang kebetulan menarik perhatian kritikus. Dapat dikatakan hasil-hasil kritik sastra dalam kesusastraan Indonesia, baru berupa fragmen-fragmen dari keseluruhan kritik sastra. Hasil-hasil kritik sastra tersebut berupa pembahasan karya sastra di radio, timbangan buku di majalah, esai-esai yang kemudian dibukukan, dan skripsi-skripsi, jadi munculnya karena keharusan ujian.
            Sementara itu, belum sempurnanya cara peninjauan yang sesuai dengan lapis-lapis norma karya sastra, baru berupa pembicaraan hal-hal yang pokok saja, bahkan masih sering berupa ringkasan cerita saja. Seharusnya kritik sastra berupa tinjauan seluruh lapis norma karya sastra, keseluruhan “bentuk” dan “isi”. Di samping itu, belum ada metode yang tepat digunakan, sehingga penilaiannya absolut.
            Sering para kritikus dalam memberikan penilaian hanya menyatakan sesuatu tentang karya sastra yang ditinjau itu tanpa berargumen, tanpa keterangan-keterangan atau bukti-bukti yang cukup sehingga kritiknya berkesan penerangan yang tidak memberi penjelasan. Sementara kritik yang baik semestinya memberikan pendapat mengapa karya sastra itu bernilai atau tidak, dan atau kritik yang baik menjelaskan apa sesungguhnya yang terkandung dalam karya sastra yang dikritik.
            Berangkat dari uraian tersebut, berikut petikan kritik atau tugas telaah sastra oleh Novi Mukti Arini, Fakultas Ilmu Budaya Airlangga.
1.      Telaaah Naskan

Judul naskah  : “Anak itoe dinamaija Sama’oen”.
Nomor naskah : ML.411A
Tempat penyimpanan : Bagian Koleksi Naskah lantai V Perpustakaan Nasional RI,
Jl.Salemba Raya no. 28A Jakarta.
Asal naskah : Hibah seorang kolektor naskah.
Keadaan naskah : Utuh dan Baik.
Ukuran lembar naskah : 21,5 cm (p) x 17,3 cm (l).
Ukuran ruang tulisan : 19 cm (p) x 16 cm (l).
Tebal naskah : 145 halaman.
Jumlah baris : Halaman 1-2 = 24 baris.
Halaman 3-141 = 21-26 baris.
Halaman 142 = 11 baris.
Halaman 145 = 12 baris.
Huruf, aksara, tulisan : Latin digandeng.
Ukuran Huruf : Berukuran besar, miring dan jaraknya renggang.
Cara penulisan : Dari kiri ke kanan pada tiap lembarnya. Tiap 1 lembar dipakai
menjadi 2 halaman bolak-balik.
Bahan naskah : Kertas HVS ± 80 gram.
Bahasa naskah : Bahasa Melayu dan tidak banyak kata-kata dari bahasa Arab dan
Jawa.
Bentuk teks : Berbentuk prosa.
Umur naskah : sekitar 108 tahun.
Ditulis pada tanggal : Sekitar tahun 1900.
Fungsi sosial naskah : Sebagai pelajaran keagamaan terutama agama islam.


RINGKASAN :
1 – 2        :     Pembukaan dalam bahasa Arab, dikisahkan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dalam hikayat ini berkata pada Baginda Ali, jika membaca hikayat ini maka diampuni dosanya 4 tahun oleh Allah.
3 – 7        :     Suami-Istri bernama Khalid menyembah berhala sebanyak 160. Melahirkan bayi laki-laki bernama Sama’un.
8 – 10      :     Khalid mendengar laki-laki berbicara dengan istrinya di dalam rumah, Khalid heran dan marah. Lalu Sama’un berbicara dengan ayahnya, baru ia percaya dan masuk agama islam. Rasulullah mengabarkan bahwa kelak Sama’un akan menjadi hulubalang-Nya.
11 – 14     :    Abu Jahal mendatangi Sama’un. Sama’un mengancam akan memenggal kepala Abu Jahal. Abu Jahal lari pulang ketakutan.
15 – 16     :    Surakal dan Abu Jahal merencanakan membunuh Sama’un dan Muhammad.
17 – 18     :    Kinam menyanggupi membunuh Muhammad.
19 – 22     :    Sama’un membunh Kinam.
24 – 27     :    Kematian Kinam terdengar oleh Abu Jahal dan Surakal.
28 – 33     :    Abu Jahal menyuruh 40 hulubalang membunuh Sama’un.
34 – 41     :    Sama’un ingin memperistri anak Abu Jahal.
42 – 45     :    Putri Abu Jahal (Nasiah) hilang.
46 – 50     :    Menceritakan Raja Baldi dari negeri Sari.
51 – 54     :    Rasulullah menolak Dewi Mariah karena seorang kafir.
55 – 65     :    Dewi Mariah menyampaikan hasratnya pada Muhammad yang ingin masuk Islam.
66 – 73     :    Rasulullah pergi berperang bersama 5 laksa, 4000 orang lengkap dengan senjatanya.
74 – 79     :    Berdasar petunjuk dari Allah melalui Jibril, maka yang disuruh berjalan dahulu adalah Sama’un.
80 – 87     :    Sama’un sampai dipinggir negeri Sari.
88 – 90     :    Mentri dari negeri Sari bernama Qolil datang menantang Sama’un.
91 – 93     :    Telah berhimpun rakyat dan hulubalang bernama Kaia, Kirul, dan Patih Indah membawa rakyat 2 keti.
94 – 96     :    Cerita tentang kelakuan kaum Mekkah dan Madinah setelah sembahyang.
97 – 102   :    Cerita tentang pertempuran Sama’un, Mursyid, dan Abas melawan rakyat kafir dengan Kirul dan Patih Indah, maka banyak kafir yang mati.
103 – 106 :    Rakyat kafir banyak yang melarikan diri menghadap Raja Bakti.
107 – 108 :    Raja Bakti beserta raja-raja taklukkannya mempersiapkan pasukan untuk melawan Sama’un.
109 – 110 :    Dewi Mariah khawatir akan keselamatan Muhammad dan kawan-kawannya, karena ayahnya ikut berperang.
111 – 112 :    Rasulullah segera membantu Sama’un di negeri Sari.
113 – 115 :    Ayah dan Ibu Sama’un meminta syafaat kepada Rasulullah karena tidak tega melihat keadaan Sama’un.
116 – 118 :    Rasulullah menyuruh Sama’un memimpin rakyat Mekkah dan Madinah ke medan perang.
119 – 125 :    Cerita tentang peperangan antara rakyat Nabi Muhammad dan rakyat negeri Sari.
126 – 128 :    Dewi Mariah segara menyiapkan diri keluar dari dalam kota hendak menghadap Nabi Muhammad.
129 – 132 :    Dewi Mariah mengunjungi Rasulullah minta diperhambakan beserta dengan pengikutnya.
133 – 134 :    Dewi Mariah dibawa ke kemah Rasulullah.
134 – 135 :    Sama’un, Ali dan rakyatnya sampai ke negeri Sari namun tidak bisa masuk karena dikelilingi api.
136 – 139 :    Baginda Ali bertemu dengan Raja Bakti lalu saling memandang.
140 – 142 :    Menceritakan tentang Siti Aisyah ketika ditinggalkan Rasulullah.
143 – 144 :    Sama’un dan Mursyid pulang kembali kerumahnya naik kuda bersama dengan beberapa rakyat.

2.      Kritik Sastra Feminis
a.      Ragam Kritik Feminis
Menurut  Rosemarie Putnam Tong ada delapan ragam kritik sastra atau keragaman pemikiran feminis yaitu (1) feminis liberal, (2) feminis radikal, (3) feminis marxis dan sosialis, (4) feminis psikoanalisis dan gender, (5) feminis eksistensialis, (6) feminis posmodern, (7) feminis multikultural dan global, dan (8) ekofeminisme.
            Kritik sastra feminis secara sederhana adalah sebuah kritik sastra yang memandang sastra dengan kesadaran khusus akan adanya jenis kelamin yang banyak berhubungan dengan budaya, sastra dan kehidupan manusia. Kritik sastra feminis bukan berarti pengkritik wanita, atau kritik tentang wanita, atau kritik tentang pengarang wanita. Arti sederhana yang dikandungnya adalah pengkritik memandang karya sastra dengan kesadaran khusus bahwa ada jenis kelamin yang banyak berhubungan dengan budaya, sastra, dan kehidupan (Satoto, 2000).
    Tong (2006), meyakinkan pembaca bahwa apapun kelemahannya tujuan umum dari feminisme liberal adalah untuk menciptakan masyarakat yang adil “dan peduli tempat kebebasan berkembang.” Hanya di dalam masyarakat seperti itu perempuan dan juga laki-laki dapat mengembangkan diri. Willis mencatat  bahwa penekanan kumulatif feminisme liberal adalah pengakuan atas kebutuhan perempuan  yang semakin mendesak untuk menghancurkan patriarki dan kapitalisme, serta penguasa atas kemampuan yang seharusnya dimiliki perempuan untuk dapat berhasil di dalam “sistem” yang ada. Karena  laki-laki, seperti juga perempuan, harus memperlakukan satu sama lain sebagai seorang yang setara, sebagai manusia yang sama berharganya untuk dicintai.
            Gerakan feminisme radikal, beranggapan bahwa faktor utama yang menjadi penyebab pembagian kerja secara seksual adalah sistem patriarkal di mana laki-laki mengendalikan perempuan dengan kekuasaan. Gerakan feminisme radikal dapat didefinisikan sebagai gerakan perempuan yang berjuang di dalam realitas seksual, dan kurang pada realitas-realitas yang lainnya. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Ilyas bahwa  gerakan ini terutama melembaga di dalam masyarakat. Kelompok yang paling ekstrem dari gerakan kaum feminis radikal bahkan berusaha memutuskan hubungannya dengan laki-laki.
            Lebih jauh Tong menguraikan bahwa masyarakat yang terbaik adalah masyarakat yang androgin, yang setiap individu laki-laki dan perempuan di dalamnya dapat merangkul nilai-nilai secara historis adalah feminin, seperti cinta, kelembutan, kemauan saling berbagi, saling menjaga, seantusias mereka merangkul nilai-nilai ketegasan, struktur rasa memiliki, dan status yang secara historis adalah maskulin.
            Sementara, Ilyas, menggolongan bahwa feminisme Marxis berpendapat bahwa ketinggalan yang dialami oleh perempuan bukan disebabkan oleh tindakan individu secara sengaja tetapi akibat dari struktur sosial, politik, dan ekomoni yang erat kaitannya dengan sistem kapitalisme. Menurut mereka, tidak mungkin perempuan dapat memperoleh kesempatan yang sama seperti laki-laki jika mereka tetap hidup dalam masyarakat yang berkelas.
            Feminisme marxis dan sosialis, sementara itu, percaya bahwa opresi terhadap perempuan bukanlah hasil tindakan sengaja dari satu individu, melainkan produk dari struktur politik, sosial dan ekonomi tempat individu itu hidup, ingin menciptakan dunia tempat perempuan dapat mengalami dirinya sebagai manusia yang utuh, sebagai manusia yang terintegrasi dan bukan terfragmentasi, sebagaimana orang yang dapat berbahagia, bahkan ketika mereka tidak mampu.
            Gerakan feminisme sosialis merupakan sintesis dari feminisme Marxis dan feminisme radikal. Asumsi yang digunakan feminis sosialis adalah hidup dalam masyarakat yang kapitalistik bukan satu-satunya penyebab utama keterbelakangan perempuan. Gerakan feminisme lebih difokuskan kepada penyadaran kaum perempuan yang tidak sadar bahwa mereka adalah kelompok yang ditindas oleh sistem patriarki (Ilyas, 1997).
             Feminis gender  Tong  menyatakan bahwa anak laki-laki dan perempuan tumbuh menjadi laki-laki dan perempuan (dewasa) dengan nilai-nilai serta kebaikan gender yang khas yang (1) merefleksikan pentingnya keterpisahan pada kehidupan laki-laki dan pentingnya keterikatan pada kehidupan perempuan dan (2) berfungsi untuk memberdayakan laki-laki dan melemahkan perempuan dalam masyarakat patriarkal.
            Feminisme eksistensialisme dikatakan oleh Beauvoir bahwa laki-laki dinamai “laki-laki” sang Diri, sedangkan “perempuan” sang Liyan. Jika Liyan adalah ancaman bagi Diri, maka perempuan adalah ancaman bagi laki-laki.
            Feminis posmodern mengakui bahwa sangatlah sulit untuk menentang tatanan simbolik, ketika kata-kata yang tersedia yang dapat menantang tatanan itu adalah kata-kata yang dilahirkan oleh tatanan tersebut (Tong 2006:291).
            Feminisme multikultural dan global menghadirkan tantangan kepada feminisme: bagaimana menyatukan perempuan dalam, melalui, alih-alih perbedaan mereka. Secara umum, feminisme multikultural dan global telah menawarkan dua cara kepada perempuan untuk mencapai kesatuan di dalam keragaman.
            Ekofeminisme adalah varian yang relatif baru dari etika ekologis. Yaitu ada hubungan langsung antara opresi terhadap perempuan dan opresi terhadap alam.
    Dengan begitu, kritik sastra feminis secara sederhana adalah sebuah kritik sastra yang memandang sastra dengan kesadaran khusus akan adanya kelamin yang banyak berhubungan dengan budaya, sastra dan kehidupan manusia. Kritik satra feminis bukan berarti pengkritik wanita, atau kritik tentang wanita, atau kritik tentang pengarang wanita. Arti sederhana yang dikandung adalah pengkritik memandang karya sastra dengan kesadaran khusus bahwa ada jenis kelamin yang banyak berhubungan dengan budaya, sastra, dan kehidupan.
b.      Peran dan Sikap Perempuan
            Dalam sistem patriarki, laki-laki mempunyai hak memerintah. Kata “patriarki” sendiri berarti kekuasaan sang ayah. Ini berarti bahwa ayah berkuasa atas semua keluarganya, semua harta milik serta sumber-sumber ekonomi, dan sebagai pembuat semua keputusan penting (Bhasin dan Khan, 1995).
            Dalam sistem ini tugas wanita dalam rumah tangga sangat berat. Wanita yang bekerja di luar rumah tetap harus menyelesaikan pekerjaan rumah tangga seperti memasak, membersihkan, mencuci, merawat anak dan lain-lain. Jadi wanita menjalani kerja rangkap, beban ganda [beban pekerjaan dengan upah dan pekerjaan tanpa upah dalam rumah tangga (Bhasin dan Khan, 1995).
            Feminisme tidak meremehkan peran ibu rumah tangga atau pekerjaan rumah tangga. Salah satu perjuangan feminis adalah supaya pekerjaan rumah tangga diakui serta dihargai, supaya wanita yang melakukannya akan diakui, dihargai, dan dihormati. Dengan harapan kaum laki-laki pun mau melakukan pekerjaan rumah tangga. Hal ini sejalan dengan pendapat feminis marxis kontemporer bahwa bagaimana institusi keluarga berkaitan dengan kapitalisme, bagaimana pekerjaan rumah tangga diremehkan sebagai bukan pekerjaan yang sungguh-sungguh, dan bagaimana perempuan secara umum, diserahi pekerjaan yang paling membosankan dengan upah yang rendah.
            Wanita tidak harus terikat di rumah. Mary Wollstonecraft dalam A Vincation of the Rights of Woman, memertegas dengan menyatakan, bahwa lingkungan serta kehidupan di rumah bukanlah penjara bagi wanita (Djajanegara, 2000). Ini berarti wanita bebas memilih peranan yang sesuai dengan pilihannya sendiri, menjadi ibu rumah tangga atau wanita karir.
            Feminis tidak membenci laki-laki, yang dibenci adalah perlakuan laki-laki yang menganggap wanita sebagai objek. Untuk menduduki posisi sebagai subjek, wanita harus mencapai kemandirian. Satu di antara jalan yang dapat ditempuh adalah dengan memberi kesempatan bagi wanita untuk mendapatkan pendidikan yang memungkinkan dia mengasah daya pikirnya, sehingga dia akan mampu mengembangkan dirinya lebih lanjut, yakni mencapai kemandirian ekonomis. Hidupnya tidak bergantung lagi pada laki-laki, khususnya dalam hal intelektualitas dan keuangan.
            Feminis, sementara itu menurut Djajanegara  menganjurkan wanita untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingan mereka dengan gigih, berani mengajukan pendapat, dan tidak bersikap pasif. Dalam hubungan dengan suami, istri berhak untuk mengajukan pendapatnya sendiri, tidak asal menuntut suami demi memertahankan perkawinan yang serasi. Istri dapat meninggalkan suami jika tidak tahan lagi dengan sikap suaminya.
            Leclerc, berpendapat tindakan buka mulut ini memang harus dilakukan karena kebungkaman merupakan kekeliruan paling besar di pihak wanita. Pembebasan wanita dari penindasan laki-laki “hanya mungkin terjadi apabila mereka berbicara”, memunyai sudut pandang sendiri mengenai kehidupan, masyarakat, pekerjaan, dan sebagainya.


c.  Citra Wanita
      Citra (Ing. Image) ialah gambar rekaan yang ditimbulkan oleh daya khayal seorang seniman pada khususnya dan setiap orang pada umumnya. Citra merupakan buah hasil penginderaan (Ing. Sensation), pengamatan kesan daya khayal yang dipadukan secara tepat (Ensiklopedi II, 1991:150). Standar mengenai apa yang patut atau tidak patut dilakukan oleh perempuan bahkan konstruksi mengenai perempuan ideal, sebuah persoalan yang kerap didukung oleh bias tradisi bukan lagi sajian.
            Citra perempuan mengandung dua pengertian yaitu milik atau kepunyaan perempuan. Citra novel berati gambaran visual atau kesan mental yang ditimbulkan oleh kata, frasa, atau kalimat yang merupakan unsur dasar yang khas dalam novel. Jadi citra perempuan dalan novel berarti gambaran visual atau kesan mental tentang diri dan kepribadian perempuan yang terwujud dalam tingkah laku keseharian yang terdapat dalam karya sastra atau novel (Subandiyah,1996).
            Citra wanita terbagi menjadi dua yaitu, citra wanita tradisional dan citra wanita mandiri. Citra wanita tradisional adalah wanita yang selalu bergantung kepada pria, lemah, dan bersifat mendorong kemajuan pria sebaliknya merendahkan diri sendiri. Dapat disimpulkan bahwa wanita yang memerankan peran tradisional cenderung selalu berada di belakang pria, tidak sejajar dengan pria, bahkan direndahkan oleh pria dan memiliki sifat ketergantungan kepada suami dan orang tua. Sementara itu, citra wanita mandiri adalah wanita yang tidak tergantung kepada siapapun, dapat mencukupi kebutuhannya sendiri. Dengan demikian, wanita mandiri merupakan wanita yang pantas. Namun, dengan masih kuatnya nilai-nilai tradisional seperti dijelaskan di atas, maka wanita memiliki peran ganda, yaitu wanita sebagai ibu rumah tangga dan sebagai karyawati.
            Menurut psikolog Sandra Bem, Seseorang yang monoandrogem memunyai kualitas tradisional perempuan yang penuh penyayang, pengasih, lembut, sensitif, berkemampuan untuk berhubungan dengan yang lain, dan mampu bekerja sama dan pada saat yang sama juga memiliki kualitas laki-laki tradional agresif, berkemampuan memimpin, berinisiatif, dan mampu bersaing. Oleh karena itu,    Dalam feminis radiakal--libertarian menolak perempuan untuk tetap pasif  (penuh kasih sayang, penurut, tanggap, terhadap simpati dan persetujuan, ceria, baik dan ramah (Tong 2006; ). 
Kritik feminis dengan demikian, dapat dilihat yang telah dikerjakan oleh Anisa Fajriana Oktasari dengan judul Pemikiran Ratna Indraswari Ibrahim Mengenai Sosial dalam Novel-novelnya. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat berikut ini.
Pemikiran Ratna Indraswari Ibrahim mengenai sosial dalam novel-novelnya, difokuskan pada peranan perempuan dalam masyarakat.
Masalah peranan perempuan dalam masyarakat banyak dibahas dalam novelet Batu Sandung. Novelet ini banyak menceritakan tentang biografi pengarang sendiri. Mulai dari tokoh Irina sebagai tokoh sentral dalam novel ini yang mengalami cacat fisik, menjalani masa kuliah, meninggalnya sang ayah hingga memimpin perusahaan. Seolah menceritakan perjalanan hidup sang pengarang dan bagaimana dia mencurahkan isi hatinya dalam novelet dengan menambahkan imajinasinya dalam karya.
Saya cuma terdiam. Sebetulnya sedih pada waktu itu. Dengan kaki yang lumpuh, saya jadi terpencil. Tapi, saya tetap menegakkan kepala seperti anjuran papa. Saya tutup album ini. Ya, sebuah goresan silam memang. (D1.2.3.4).
Ketika semua anak-anak bermain, saya cuma berteman dengan dongeng-dongeng lewat buku. Sewaktu remaja kalau yang lainnya asyik kemping atau pacaran, saya mesti belajar teori ekonomi bersama Papa. Dan sekarang, ketika teman-teman sedang santai, saya mesti ikut Papa ke perusahaannya untuk belajar apa saja karena saya sadar sekali masa depan saya cuma di sana. (D1.2.3.6-7).
Kini saya di perguruan yang sama dengan orang-orang dewasa yang normal. Saya tidak menemukan kesulitan belajar. Ini mungkin satu kebahagiaan, mungkin satu kebanggaan. Karena dengan perbedaan ini saya kadang gugup dan sulit berhubungan dengan orang lain. Kegugupan itu tidak berhenti mencuat sampai saat ini, sekalipun saya tahu kehidupan masa depan saya harus lebih banyak saya tunjang dengan logika. (D1.2.3.4).
Dalam kutipan di atas terlihat bahwa Irina mengalami masalah dengan kehidupan sosialnya. Dengan keterbatasan fisiknya Irina menjadi sosok yang tidak percaya diri. Namun, Irina dapat menutupinya dengan cara belajar yang baik dalam perkuliahannya. Irina berjuang untuk lebih sempurna daripada mereka yang memang benar-benar sempurna secara fisik. Tokoh Irina ini merupakan pencerminan dari diri pengarang.
Bila saya telusuri, hidup ini sebetulnya seluruhnya adalah tragedi. Mungkin kedengarannya aneh bahwa kecacatan terkadang bisa jadi sahabat yang pas buat saya. Dengan asyiknya saya bisa bermain dengan waktu, tanpa kontak dengan orang lain. (D1.2.3.12).
Di lain pihak Irina dapat mengambil hikmah dari kecacatannya. Dia bisa lebih banyak meluangkan waktu, tanpa diganggu dengan rutinitas kehidupan sosial orang lain. Berikut ini akan dibahas bagaimana sosok Irina dalam kehidupan sosialnya.
Irina merupakan sosok yang banyak terinspirasi dari diri pangarang novel itu sendiri. Pengarang ingin menjelaskan bahwa Irina adalah dirinya dalam bentuk fiksi. Seperti pendapat Goenawan Mohamad bahwa harga sebuah kata, ditentukan oleh tebalnya lapisan penderitaan yang membuat kata itu ditulis. Sebuah cerpen dan novel, adalah pencerminan pribadi; sebuah komposisi dari pengalaman yang tulen. Justru karena cerpen dan novel mendapatkan kekuatannya dari sana, ia tidak perlu tersisih dari perhatian. Di sampingnya, sang pengarang seharusnya tak perlu lagi menunjukkan diri.
Hari-hari berikutnya saya merasa malas untuk berhubungan dengan siapa saja. Saya bunuh waktu dengan belajar keras. (D1.2.3.18).
Irina seorang perempuan pekerja keras. Dia tidak pernah meluangkan waktu dengan percuma, belajar dan membaca adalah kegemarannya. Irina memiliki kekurangan dengan kecacatan tubuhnya. Namun, kekurangan itu dia jadikan untuk menjadi pribadi yang mandiri.
“Saya bisa berdiri sendiri,” kata saya tersinggung. Mama tiba-tiba seperti kelihatan letih mendengar ucapan saya. (D1.2.3.25).
      Meskipun dalam keterbatasannya, Irina tidak ingin menjadi orang yang harus dilinduni sepanjang kehidupan pribadi dan sosialnya. Dalam keterbatasannya, Irina dapat tumbuh sesuai perkembangan masyarakat.
Bukankah yang bisa dilindungi terus-menerus hanya orang-orang yang dianggap tidak bisa berkembang menjadi dewasa? (D1.2.3.39).
Dalam keberadaannya di masyarakat Irina dapat hidup mandiri, menyelesaikan kuliahnya, memimpin perusahaan dan berperan dalam masyarakat. Dalam kekurangannya Irina merupakan sosok wanita mandiri, tidak tergantung kepada orang lain, dapat sukses dalam kehidupannya, dan tidak putus asa. Sosok seperti ini mencerminkan perempuan dengan sikap feminis yang baik. Dengan demikian, Sugishastuti berpendapat bahwa paham feminisme merupakan paham yang timbul di kalangan para wanita untuk mandiri sebagai subjek, baik berdasarkan kritik maupun berdasarkan kemandirian individu.