PELAKSANAAN DAN TEKNIK KRITIK SASTRA
A.
Pelaksanaan Kritik Sastra
Dalam
pembicaraan mengenai pelaksanaan kritik sastra ini, dipergunakan hasil kritik
yang berupa buku yang sudah diterbitkan. Sementara itu, memetik beberapa hasil
kritik sastra yang diakses di internet (website, beloger, dan semacamnya)
melalui google; menyunting hasil-hasil kritik dari beberapa kritik ilmiah yang
telah dikerjakan oleh beberapa mahasiswa sastra baik pada jenjang strata satu,
starata dua, maupun strata tiga. Hal ini dilakukan sehubungan masih relatif
kurangnya bahan atau materi yang sesuai
tujuan yang ingin dicapai dalam pembelajaran mata kuliah Kritik Sastra.
Tepat
pula apa yang diuraikan oleh Pradopo bahwa hasil-hasil kritik sastra itu berupa
pidato radio, timbanga buku, esai-esai dalam majalah, ceramah dan seminar, dan
studi yang berbentuk buku. Kebanyakan berupa fragmen-fragmen, artinya hanya
mengenai seorang pengarang, atau hanya meninjau genre sastra tertentu, misalnya
hanya cerita pendek saja atau hanya roman atau novel saja.
Berikut
dipaparkan timbangan Chairil Anwar yang kita bandingkan dengan timbangan H.B.
Jassin, atas sajak Waluyati yang
berjudul Berpisah.
Berpisah
Bersama-sama bunga digubah
Menjadi rangkaian halus mewangi
dan pulang kita bersuka hati
di kala surya terbenam merah
Di jalan simpang kita berpisah
Gubahan bunga gemetar di tangan
dan sambil kita berpandangan
jatuh rangkaian dua sebelah
Kuambil seutas, setengah lagi
Kau pegang erat, dan aku melompat. . .
Di kala senja kujalan sendiri
Hanyalah bunga kau bawa lari
Mengirimkan wanginya ke arahku lagi
Berpisah,
adalah
suatu sajak yang indah, dan salah satu sajak romantik yang menjadi, dalam arti
berhasil dalam memberi pembayangan. Dalam bentuk juga masih tradisi Pujangga
Baru (Chairil Anwar, 1946).
Tentulah kritik atau
pertimbangan Chairil ini bukan memenuhi tuntutan kita meskipun pendapatnya
dapat kita terima sebagai sebuah penilaian. Akan tetapi, bila dimaksudkan
sebagai kritik sastra yang hendak menerangkan secara tepat, mestinya sajak itu
dianalisis lebih lanjut bagaimanakah berhasilnya, juga bagaimana uraian tentang
bentuknya yang dikatakan masih tradisi Pujangga Baru itu.
Berikut pertimbangan H.B. Jassin
atas sajak Waluyati yang berjudul Berpisah.
“Di jalan bersimpang kita berpisah”
Menimbulkan dalam angan-angan kita lukiskan jalan
bersimpang. Dan bagi penyair persimpangan itu menimbulkan pula asosiasi
perpisahan. Maka kalimat ini selain memunyai daya melukiskan, pun memunyai daya
asosiasi. Daya melukiskan dari kata-kata disebut plastik.
“Gubahan bunga gemetar di tangan”.
Selain
lukisan bunga bergetar di tangan yang bisa dilihat dengan mata angan-angan,
gemetarnya tangan menimbulkan pula asosiasi pengertian keterharuan.
“dan sambil kita berpandangan
jatuh ragkaian, dua berbelah”
Perasaan terharu, kasih, sedih, seperti biasanya pada
pandangan perceraian antara yang berkasih-kasihan, terkandung dalam kalimat
yang pertama. Lukisan berpisah ditegaskan lagi oleh keterangan : jatuh rangkaian, dua berbelah/ di dalam kuplet
yang berlebihan/ di kala senja kujalan sendiri/ hanyalah bunga kau bawa lari/
mengirimkan wanginya ke arahku lagi”
Kita berkenalan
dengan asosiasi panca indera penciuman. Seolah-olah saban penyair melalui jalan
simpang seorang diri di kala senja, terciumlah wangi bunga yang dibawa
kekasihnya lari. Teranglah bahwa sajak di atas ini sangat plastis. Memunyai
daya menimbulkan lukisan dalam angan-angan, serta pula memunyai daya asosiasi,
artinya menimbulkan pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan yang merembet.
Pertimbangan
Chairil terhadap sajak Waluyati pada dasarnya punya persamaan atas pertimbangan
H.B.Jassin, kedua-duanya berpendapat bahwa sajak itu berhasil dan indah.
Sebagaimana dalam uraian H.B. Jassin, ia menunjukkan dengan konkret dan
memberikan keterangan yang cukup tentang keistimewaan sajak itu. Dengan uraian
yang konkret itu timbangan Jassin dapat diterima karena pertibangan itu
memenuhi tuntutan kritik sastra menurut metode literer. Sementara itu pernyataan Jassin sudah dapat diterima karena sudah
diberi bukti-bukti yang konkret dan jelas.
Berikut berupa
pernyataan Boejoeng Saleh mengenai para sastrawan terkemuka, misalnya:
1. Pramoedya Ananta Toer,
memunyai intuisi yang tajam akan watak-watak dan perasaan-perasaan manusia.
Ekspresinya langsung, padat, dan sederhana hingga karenanya dapat mengikat
sekalipun kadang-kadang agak skematis dan gubahannya (komposisinya)
kadang-kadang tak terpelihara. Ia berperikemanusiaan yang kuat dan militant
menentang penindasan terhadap apa pun juga. Di dalam melukiskan
kepincangan-kepincangan masyarakat ia tajam menyindir dan pahit mengejak,
terkadang hingga-hingga kasar. Ia seorang pengenal kehidupan rakyat yang baik.
Apa yang baik padanya ia jarang menghukum tokoh-tokoh selaku hakim yang geram,
melainkan ia selalu memaafkan mereka dengan penuh belas kasihan. Hanya di sana
sini ia agak menggeneralisasikan tokoh-tokohnya. Beberapa ceritanya di
waktu-waktu terakhir agak semrono.
2.
Idrus,
dia humorir dan daya memperhatikan yang halus
dan tajam sebagai modalnya. Tapi, janganlah hendaknya ia bermain-main dengan
humornya seperti dalam “Surabaya”, di mana ia tidak berhasil memandang keadaan-keadaan
dan kejadian-kejadian di dalam proporsi sebenarnya. Terkadang ia memboroskan
bakat dan tenaganya seperti di dalam Perempuan
dan Kebangsaaan, Kejahatan Membalas
Dendam, dan Susu Kaleng Kabinet Su-su,
di mana dia mengalami kegagalan sama sekali. Gaya bahasanya lincah dan
menampakkan antara lain adanya pada dia pengaruh Ilya Ehrenburg, terutama
di dalam bukunya Hari Penciptaan Kedua.
Hanya barangkali kurve Idrus di waktu belakangan sedang menurun.
3.
Chairil,
bagi saya penting bukan terutama karena keaslian
perbandingannya, melainkan sebagai pemeras sebanyak-banyak segala kemungkinan
dengan bahasa Indonesia di dalam puisi. Kepekaan, kekayaan, dan keplastisan
bunyi serta kelangsungan ungkapanlah yang membuat puisinya hingga kini belum di
atasi oleh penyair Indonesia lainnya. Hanya plagiatnya yang mengurangi nilainya
sebagai manusia dan penyair.
4.
Ajip
Rossidhy, ia menggambarkan kehidupan desa, pada mana ia
seorang anak desa tulen masih berakar. Bukunya adalah Tahun-tahun Kematian. Kedua-duanya (dengan SM Ardan) memberikan
“janji” untuk masa datang, tapi apakah “janji” itu akan mereka tepati
sepenuhnya, waktulah akan membuktikannya.
Sementara ini, kita perhatikan cara
kerja para kritikus sastra Indonesia modern yang pertama kita perhatikan H.B.
Jassin berikut ini.
H.B.
Jassin, membuat kritiknya, yakni mengupas
berbagai masalah yang dihadapai para pengarangnya yang terbeber dalam karya
sastranya. Ia meninjau dari segala aspek sastra, mudahnya dari segala bentuk
dan isinya. Jadi ia sudah memenuhi harapan bagaimana seharusnya
menganalisis karya sastra, yaitu menganalisisnya berdasarkan struktur
lapis-lapis normanya, menafsirkan kehidupan penyair, juga kepada bentuk-bentuk
sastranya. Dalam studi, kritik dan esainya ia menafsirkan kehidupan
sastrawan-sastrawan itu dengan menganalisis pandangan hidupnya, keagamaannya,
kegiatannya, kefilsafatannya, rasa perikemanusiaannya, sampai kepada
bentuk-bentuk karya sastra sebagai alat pengungkapan pengalaman jiwa yang
diungkapkan oleh para sastrawan.
Dengan demikian, H.B. Jassin
menganalisis karya sastra seperti tuntutan metode analisis yang semenstinya,
yaitu menganalisis karya sastra berdasarkan struktur normanya. Seperti
bunyinya, kata-katanya, arti kata, perlambangan, kiasan, kombinasi kata,
kalimat dunia pengarang, pandangan hidup dan kemanusiaan pengarang, pandangan
metafisika dan sebagainya.
Kendati demikian, sering kritik Jassin
tidak dapat dilihat sampai di mana nilai sastra penyair atau sastrawan karena
dalam pembicaraan tiap-tiap karya satrawan dipergunakan pola-pola pembicaraan.
Lagi pula sering pembicaraannya hanya bersifat analisis formal, tidak sampai
kepada penilaian. Untuk lebih jelasnya diperhatikan kutipan berikut ini.
Satu
keistimewaan dalam puisi Amir Hamzah ialah percampuran bentuk syair dan jiwa
pantun, kadang-kadang kombinasi bentuk syair dan bentuk pantun. Bentuk syair
berpola a a a a yang bernafaskan jiwa pantun, misalnya sajak Buah
Rindu berikut ini.
Ibu, lihatlah
anakmu muda belia
Setiap waktu
sepanjang masa
Duduk termenung
berhati duka
Laksana asmara
kehilangan seroja
Bunda waktu tuan
melahirkan beta
Pada subuh
kembang cempaka
Adakah ibu
menaruh sangka
Bahwa begini
peminta anakda?
(lalu seterusnya
susunan pantun berpola a b a b dan jiwa pantun)
Wah kalu begini
naga-naganya
Kayu basah
dimakan api
Aduh kalau
begini laku rupanya
Tentulah badan
lekaslah fani
Di tengah sajak berbentuk syair
tiba-tiba ia berpantun, menunjkkan betapa hidupnya masih rasa pantun dalam
jiwanya. Misalnya dalam Buah Rindu II, di tengah-tengah,
yang seharusnya. (pada bait ketiga ), dan yang seperti berikut ini.
Ibu,
konon jauh tanah selindung
Tempat
gadis duduk berjuntai
Bunda
hajat hati memeluk gunung
Apatah
daya tangan tak sampai.
Setelah diperhatikan kritik Jassin
seperti yang terlihat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Jassin mengeritik
karya berdasarkan analisis formalnya saja, tanpa dihubungkan dengan penilaian,
berhasil atau tidaknya pengungkapan jiwa pengarang dengan bentuk-bentuk yang
dipakai itu. Jadi bentuk tidak dapat lepas dari pemikiran yang diungkapkannya.
Dengan demikian Jassin hanya mengutip seluruh sajak tanpa diapa-apakan. Oleh
karena itu Teeuw mengeritik Jassin . . . betapa pena Jassin sudah hendak
menjadi tumpul”. Ada pula yang menuduh bahwa ia bersikap “kesarjana-sarjanaan”
dalam arti bahwa analisisnya bersifat formal, meninjau karya sastra dari
segi-seginya yang tampak oleh mata, tanpa dihubungkan dengan penilaian apa yang
diungkapkan dengan bentuk itu.
H.B. Jassin sebagai seorang kritikus
yang terutama dan yang berpengaruh, maka pola-pola kritiknya banyak diikuti
oleh kritikus-kritikus lain, termasuk pola pembicaraannya yang hanya berupa
penceritaan kembali karya-karya yang dibacanya itu; juga termasuk analisisnya
yang sering hanya bersifat formalitas itu. Mengeritik karya sastra dengan cara
demikian itulah yang paling mudah.
Karena kritiknya obejktif terutama
ketika ia mengeritik sastrawan-sastrawan yang belum terkenal, oleh karena itu
para sastrawan yang dikritik menjadi “terkenal”. Dalam bukunya Analisa, sungguh-sungguh ia memberi
penerangan kepada pembaca yang ingin melihat nilai karya-karya sastra yang
dikritiknya itu, Jassin tidak hanya menganalisis secara formal saja, tidak
hanya menceritakan kembali isi cerita saja, tetapi sungguhlah ia memberi
penilaian kepada “bentuk” dan “isi”nya.
Misalnya dalam menyorot cerita pertama “Kepanjangannya” cerita pendek Rijono
Pratikto, ia mengemukakan keistimewaan pengarang disertai dengan urutan yang
cukup dapat diterima, yaitu keistimewaannya membangun cerita. Akan tetapi di
samping itu, ia menunjukkan kekurangan dan kelemahan cerita itu. Sebagaimana
uraian berikut ini.
Rijono
telah
berhasil menambat hati pembaca dan menimbulkan perasaan ngeri sampai akhir
cerita. Daya menambat inilah kekuatan
Rijono. Dan kita pun percaya bahwa banyak kerahasiaan masih di belakang
dunia kita yang lahir ini. Tapi, apabila dikatakanya bahwa ceritanya hanyalah
mimpi, kita pun jadi kecewa dan kita merasa tertipu. Inilah yang saya anggap
sebagai kekurangan dalam cerita ini.
Kita tidak keberatan terhadap irealisme, irealisme yang tulen.
Contoh yang lain dalam menganalisis
cerita pendek Nugroho Notosusanto, Jassin tidak hanya menganalisis secara
formal saja, tetapi juga menunjukkan efek puitis kaliamat-kalimat dan gaya yang
dipergunakan oleh pengarang sebagai berikut.
Humor jadi bumbu
yang enak dalam cerita ini. . . Awal cerita sudah memberi kita kesan tentang
jiwa pengarang yang memunyai daya lenting, melihat segala dalam pertentangan
yang menggelikan, juga yang harus mengesalkan hati.
Perhatikanlah
kalimat yang pertama” “pada suatu malam yang kuyub (1) dengan hujan, (2) aku
pulang dari sebuah rendezvous yang hangat )3) dan romantik (4)” . kalimat ini
menimbulkan senyum. Mengapa? Karena pertentangan-pertentangan kesan yang terdapat
di dalamnya. Bagian yang pertama: “Malam yang kuyup dengan hujan” memberi kesan
umum yang sebaiknya dari apa yang dikatakan dalam bagian kedua: “rendezvous
yang hanyat dan romantis”.
Dengan bukti-bukti dan keterangan yang
jelas, dapat dipertanggungjawabkan, pembaca, kita dapat menjadi mengerti dengan
terang bagaimana baik buruknya dan keistimewaan karya yang dikritiknya itu.
Kritik sastra yang demikian itulah yang kita harapkan.
Amal
Hamzah, sebagian besar kupasannya hanyalah berupa
ringkasan cerita, penceritaan kembali, uraian tentang watak pelaku. Sedangkan
tentang soal-soal yang lain sedikit sekali dibicarakan. Dapat dikatakan tentang
soal-soal yang lain sedikit sekali dibicarakan. Hampir tidak ada analisis
strukur lapis norma karya sastra. Apabila ada analisis tidak sampai pada
penilaian. Dengan demikian nilai kupasannya hanya sampai kepada memperkenalkan
penulis-penulis Indonesia kepada umum. Di antara kupasannya yang agak berarti
adalah tibangan kepada buku Sukreni Gadis Bali karangan I.G.N. Panji Tisna, karena dalamnya ada
analisis tentang watak dan sampai kepada penilaian, disertai keterangan yang
dapat diterima, sebagaimana uraian berikut ini.
Ada beberapa
kelemahan buku ini, misalnya: Sukreni adalah kakak dari I Negari dan anak dari
Men Negara. Dalam hendak mencelakakan Sukreni oleh kedua orang itu hendaknya
dibayangkan dahulu dengan secara halus bahwa ada bisikan kepada kedua orang itu
untuk menahan-nahan dia melakukan pekerjaan tersebut. Di sini perlu perasaan
dan penguraian secara psikologis yang tajam. Agak aneh terasa bahwa Men Negara
dan Negari terus saja mau menjerumuskan orang yang bermalam di rumahnya. Kita
kurang benar dibiasakan oleh penulisnya dengan kejahatan-kejahatan Men Negara.
. . Itulah maka kita agak kaget melihat bagaimana kejamnya Men Negara
menjerumuskan gadis yang datang menumpang di kedainya itu. Lebih-lebih gadis
yang datang itu adalah anaknya yang lahir dari suaminya dulu.
Dalam kupasan-kupasan
yang lain Amal Hamzah tidak memberi bukti-bukti hingga tidak menjelaskan kepada
pembaca, misalnya kritiknya terhadap Layar
Terkembang. “percintaan antara Yusuf dan Maria indah digambarkan oleh
penulis. . . bahasanya hidup dan pemandangan alam yang di kitab itu baik
sekali.
Kritiknya yang lain,
terlihat pada tulisan Iskandar (Hulu
Balang Raja). Amal mengemukakan bahwa Iskandar sebagai penulis kurang
pandai menangkap perhatian orang. Benar bukunya tebal, tetapi lembaran-lembaran
yang banyak itu dia merata saja. Jarang sekali nafas pembaca tersangkut karena
terharu atau gerahan pembaca mengerik karena marah ataupun tertawa besar karena
lucu. Dikatakan Iskandar bukan romantik yang hidup dan mati, menangis dan galak
dengan orang-orang yang hidup dan dimatikanya dalam bukunya.
Dibawah
Lindungan Kaabah karya Hamka, Amal hanya meninjau
cara melukiskan perasaan saja, sedangkan hal-hal yang lain tidak disoroti yang
sesungguhnya lebih penting. Hal ini sama dengan Belenggu hanya meringkas dan
memberi komentar tentang tingkah laku para pelaku, ia tidak menganalisis
struktur normanya. Pada I Swasta Setahun
di Bedahulu, Sabai Nan Aluih, dan Asmara
Jaya, Amal cuma membuat ringkasan ceritanya tidak sampai kepada penilaian,
sebagai tuntutan kritik sastra terhadap karya sastra sebagai karya seni.
Ajip
Rosidi, mempergunakan ukuran subjektif dalam menilai karya-karya sastra, yaitu
didasarkan pertmbuhan penilaian dalam dirinya sendiri. Sebagaimana uraiannya,
“Apa yang beberapa tahun yang lampau saya anggap baik, belum tentu sekarang
masih sebagus itu. Dan begitu pula apa yang beberapa tahun berselang saya
anggap kurang bagus atau jelek. Dengan berdasar pada pernyataan Ajip, maka
analisisnya subjektif, dan ternyata ukurannya itu tidak konsekuen dengan
pernyataannya, “Kita tetap sadar bahwa yang kita hadapi hasil sastra yang menuntut mengutaraan dan penceritaan
secara sastra, yang mengenai hukum-hukum keindahan dan keharuan dan
keselarasan. Bila dia mempergunakan
hukum-hukum penilaian ini tentu tidak akan berubah-ubah pandangannya. Dengan
ukuran yang tidak tetap itu, tentulah tidak dapat dipegang pendiriannya.
Sebagai contoh kupasan Ajip dapat dilihat uraian berikut ini.
Yang paling baik
dan bulat secara keseluruhan adalah “Kisah Martini” yang melukiskan Martini, seorang janda muda,
main api dengan Herman, seorang anggota perlemen yang bersemboyan: mereguk
hidup sepuas-puasnya. Dalam melukiskan pertumbuhan cinta dalam diri Martini
melalui kejadian-kejadian kecil yang namun diperhatikan oleh kaum wanita sampai
kepada pelukisan perjuangan batin Martini tatakala ia hendak menggugurkan
kandungannya. Achdiat sangat kuat dan menguasai diri. Dalam cerpen ini tidak
ada yang lebih atau dibikin-bikin, semuanya lengkap dan bulat. Dalam
mengungkapkan kewanitaannya yang halus namun mesra. Achadiat pun dikatakan
berhasil bahkan sangat berhasil.
Dengan
melihat kutipan di atas nyatalah Ajip membicarakan cerita itu hanya dengan
meringkas cerita. Hal yang demikian ini lebih jelas dapat kita lihat ketika
Ajip membicarakan cerita-cerita Idrus. Setelah Ajip membicarakan diri Idrus,
lanjut memceritakan kembali Idrus menurut liku-liku pikiran Idrus menurut
interpretsinya.
M.S. Hutagalung, Jalan tak Ada Ujung,
karya Mochtar Lubis adalah hasil sorotannya yang ditinjau dari sudut ilmu jiwa
dalam, filsafat esksistensialisme dan sosiologi, meninjau gaya bahasanya, dan
juga menguraikan latar belakang cerita tersebut.
Akan
tetapi, sayang karena adanya proporsi yang tidak seimbang, menurut Hutagalug,
Mochtar terlalu banyak menguraikan latar belakang dan menguraikan teoria-teori,
sedangkan pembahasannya agak berifat penafsiran saja. Kurang langsung
menghubungkan dengan penilaian dan deskriptif, ia hanya mengemukakan
contoh-contoh tanpa diuraikan sampai di mana berhasilnya sebagai pernyataa
sastra.
Pada Bab I, II, III, dan IV skripsi
Mochtar, ia menguraikan latar belakang penulisan berupa “Pengantar”, “Riwayat
Hidup”. Bab V, berupa pembicaraan bentuknya, roman atau novel, dan ringkasan
ceritanya, pada Bab VI ia menguraikan
gaya bercerita Mochtar, tetapi terasa uraiannya seperti ulangan ringkasan cerita.
Cara penyusunan ceritanya tidak disoroti berhasil atau tidaknya. Bahkan ia
menyoroti keberatan-keberatannya yang tidak ada hubungannya dengan gaya
ceritanya. Sementara itu, pada bab vi ini, ia menguraikan ilmu jiwa dalam dan
pengaruhnya pada Jalan Tak Ada Ujung,
tetapi hanya disebutkan secara deskriptif, tidak langsung dihubungkan dengan
penilaian. Baru pada Bab X hal perwatakan baru dihubungkan dengan penilaian,
demikian pula tinjauannya yang analitis dan deskriptif itu, hubungannya menjadi
agak kabur hingga dasar penilaiannya pada perwatakan agak tidak jelas.
Pada Bab XI ia meninjau gaya bahasa,
sifatnya deskriptif juga, hanya memberi contoh-contoh peristiwa-peristiwa gaya
bahasa dan menerangkan kegunaan gaya bahasa itu secara umum, tetapi tidak
diterangkan sampai di mana berhasilnya pemakaian gaya itu secara khusus.
Sebagaimana pernyataan Hutagalung berikut ini.
Pada
ummnya Mochtar Lubis dapat membuat kesegaran dengan ungkapan-ungkapan dan
perbandingan-perbandingan yang baru. Dengan lincah ia sanggup melukiskan
suasana dengan kombinasi-kombinasi kata, kalau perlu kadang-kadang mengulang
kalimat atau kata-kata sampai empat kali.
M.S. Hutagalung meninjau kesalahan
penggunaan gaya bahasa Mochtar Lubis, karena mengingat pekerjaan Mochtar
sebagai wartawan yang ingin menulis sesuatu dengan cepat hingga tidak lengkap.
Akan tetapi peninjauan Hutagalung bersifat peninjauan dari sudut tatabahasa
normatif, agak mengabaikan fungsi-fungsi kalimat pada karya sastra untuk
pernyataan yang ekspresif. Misalnya kejanggalan yang terdapat pada (hl, 76)
“perasaan guru Isa dengan sedikit”; “dia merasa dia terbang” (hl, 77). Kiranya
kaliamt seperti itu yang dimaksudkan sebagai pernyataan eskpresif, yang memang
disengaja oleh pengarangnya. Kalimat yang sangat janggal menurut Hutagalung
terdapat pada (hl, 64 dan 66). “Si
Ontong yang duduk di sebelah kiri Hazil adalah rupa buaya yang jika dibayangkan oleh Guru Isa haruslah
berupa si Ontong ini.
Berdasar atas kritik tersebut,
Hutagalung menyimpulkan bahwa teori-teori penilaian W. Somerset Maugha, Hudson,
dan George Henry Luwes, terasa hanya sampai di kulit dari teori-teori yang
dipinjam untuk menilai, sebagaimana pernyataan Hutagalung berikut ini.
Saya
rasa Jalan Tak Ada Ujung mengenai
perjuangan manusia memunyai rasa takut. Manusia ingin mengetahui tentang
dirinya sendiri. Soal-soal seksual yang banyak terdapat di dalam buku ini akan
terus menarik tua muda.
Menarik tidaknya persoalan yang
dikemukakan bukanlah pertimbangan mutlak
untuk menentukan bernilai tidaknya karya sastra. Hal itu adalah soal selera
mesyarakat.
B.
Teknik Kritik Sastra
Karena belum ada kritik sastra yang tersusun secara
lengkap hingga dapat memberikan gambaran perkembangan sejarah kesusastraan
Indonesia modern, dari mulai lahirnya
hingga kini. Karya-karya yang berupa kritik itu baru merupakan pembicaraan
mengenai sastrawan-sastrawan yang kebetulan menarik perhatian kritikus. Dapat
dikatakan hasil-hasil kritik sastra dalam kesusastraan Indonesia, baru berupa
fragmen-fragmen dari keseluruhan kritik sastra. Hasil-hasil kritik sastra
tersebut berupa pembahasan karya sastra di radio, timbangan buku di majalah,
esai-esai yang kemudian dibukukan, dan skripsi-skripsi, jadi munculnya karena
keharusan ujian.
Sementara itu, belum sempurnanya cara peninjauan yang
sesuai dengan lapis-lapis norma karya sastra, baru berupa pembicaraan hal-hal
yang pokok saja, bahkan masih sering berupa ringkasan cerita saja. Seharusnya
kritik sastra berupa tinjauan seluruh lapis norma karya sastra, keseluruhan
“bentuk” dan “isi”. Di samping itu, belum ada metode yang tepat digunakan,
sehingga penilaiannya absolut.
Sering para kritikus dalam memberikan penilaian hanya
menyatakan sesuatu tentang karya sastra yang ditinjau itu tanpa berargumen,
tanpa keterangan-keterangan atau bukti-bukti yang cukup sehingga kritiknya
berkesan penerangan yang tidak memberi penjelasan. Sementara kritik yang baik
semestinya memberikan pendapat mengapa karya sastra itu bernilai atau tidak,
dan atau kritik yang baik menjelaskan apa sesungguhnya yang terkandung dalam
karya sastra yang dikritik.
Berangkat dari uraian tersebut, berikut petikan kritik
atau tugas telaah sastra oleh Novi Mukti Arini, Fakultas Ilmu Budaya Airlangga.
1.
Telaaah
Naskan
Judul naskah : “Anak itoe dinamaija Sama’oen”.
Nomor naskah : ML.411A
Tempat penyimpanan : Bagian Koleksi Naskah lantai V Perpustakaan
Nasional RI,
Jl.Salemba Raya no. 28A Jakarta.
Asal naskah : Hibah seorang kolektor naskah.
Keadaan naskah : Utuh dan Baik.
Ukuran lembar naskah : 21,5 cm (p) x 17,3 cm (l).
Ukuran ruang tulisan : 19 cm (p) x 16 cm (l).
Tebal naskah : 145 halaman.
Jumlah baris : Halaman 1-2 = 24 baris.
Halaman 3-141 =
21-26 baris.
Halaman 142 = 11
baris.
Halaman 145 = 12
baris.
Huruf,
aksara, tulisan : Latin digandeng.
Ukuran
Huruf : Berukuran besar, miring dan jaraknya renggang.
Cara
penulisan : Dari kiri ke kanan pada tiap lembarnya. Tiap 1 lembar dipakai
menjadi
2 halaman bolak-balik.
Bahan
naskah : Kertas HVS ± 80 gram.
Bahasa
naskah : Bahasa Melayu dan tidak banyak kata-kata dari bahasa Arab dan
Jawa.
Bentuk
teks : Berbentuk prosa.
Umur
naskah : sekitar 108 tahun.
Ditulis
pada tanggal : Sekitar tahun 1900.
Fungsi
sosial naskah : Sebagai pelajaran keagamaan terutama agama islam.
RINGKASAN :
1 – 2
: Pembukaan dalam bahasa Arab,
dikisahkan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dalam hikayat ini berkata
pada Baginda Ali, jika membaca hikayat ini maka diampuni dosanya 4 tahun oleh
Allah.
3 – 7
: Suami-Istri bernama Khalid
menyembah berhala sebanyak 160. Melahirkan bayi laki-laki bernama Sama’un.
8 – 10
: Khalid mendengar laki-laki
berbicara dengan istrinya di dalam rumah, Khalid heran dan marah. Lalu Sama’un
berbicara dengan ayahnya, baru ia percaya dan masuk agama islam. Rasulullah
mengabarkan bahwa kelak Sama’un akan menjadi hulubalang-Nya.
11 – 14
: Abu Jahal mendatangi Sama’un.
Sama’un mengancam akan memenggal kepala Abu Jahal. Abu Jahal lari pulang
ketakutan.
15 – 16 : Surakal
dan Abu Jahal merencanakan membunuh Sama’un dan Muhammad.
17 – 18 : Kinam
menyanggupi membunuh Muhammad.
19 – 22 : Sama’un
membunh Kinam.
24 – 27 : Kematian
Kinam terdengar oleh Abu Jahal dan Surakal.
28 – 33 : Abu
Jahal menyuruh 40 hulubalang membunuh Sama’un.
34 – 41 : Sama’un
ingin memperistri anak Abu Jahal.
42 – 45 : Putri
Abu Jahal (Nasiah) hilang.
46 – 50 : Menceritakan
Raja Baldi dari negeri Sari.
51 – 54 : Rasulullah
menolak Dewi Mariah karena seorang kafir.
55 – 65 : Dewi
Mariah menyampaikan hasratnya pada Muhammad yang ingin masuk Islam.
66 – 73
: Rasulullah pergi berperang
bersama 5 laksa, 4000 orang lengkap dengan senjatanya.
74 – 79
: Berdasar petunjuk dari Allah
melalui Jibril, maka yang disuruh berjalan dahulu adalah Sama’un.
80 – 87 : Sama’un
sampai dipinggir negeri Sari.
88 – 90 : Mentri
dari negeri Sari bernama Qolil datang menantang Sama’un.
91 – 93
: Telah berhimpun rakyat dan
hulubalang bernama Kaia, Kirul, dan Patih Indah membawa rakyat 2 keti.
94 – 96 : Cerita
tentang kelakuan kaum Mekkah dan Madinah setelah sembahyang.
97 – 102
: Cerita tentang pertempuran
Sama’un, Mursyid, dan Abas melawan rakyat kafir dengan Kirul dan Patih Indah,
maka banyak kafir yang mati.
103 – 106 : Rakyat kafir banyak yang melarikan diri
menghadap Raja Bakti.
107 – 108 : Raja
Bakti beserta raja-raja taklukkannya mempersiapkan pasukan untuk melawan
Sama’un.
109 – 110 : Dewi
Mariah khawatir akan keselamatan Muhammad dan kawan-kawannya, karena ayahnya
ikut berperang.
111 – 112 : Rasulullah segera membantu Sama’un di negeri
Sari.
113 – 115 : Ayah
dan Ibu Sama’un meminta syafaat kepada Rasulullah karena tidak tega melihat
keadaan Sama’un.
116 – 118 : Rasulullah
menyuruh Sama’un memimpin rakyat Mekkah dan Madinah ke medan perang.
119 – 125 : Cerita tentang peperangan antara rakyat Nabi
Muhammad dan rakyat negeri Sari.
126 – 128 : Dewi
Mariah segara menyiapkan diri keluar dari dalam kota hendak menghadap Nabi
Muhammad.
129 – 132 : Dewi
Mariah mengunjungi Rasulullah minta diperhambakan beserta dengan pengikutnya.
133 – 134 : Dewi Mariah dibawa ke kemah Rasulullah.
134 – 135 : Sama’un,
Ali dan rakyatnya sampai ke negeri Sari namun tidak bisa masuk karena
dikelilingi api.
136 – 139 : Baginda Ali bertemu dengan Raja Bakti lalu
saling memandang.
140 – 142 : Menceritakan tentang Siti Aisyah ketika
ditinggalkan Rasulullah.
143 – 144 : Sama’un
dan Mursyid pulang kembali kerumahnya naik kuda bersama dengan beberapa rakyat.
2.
Kritik Sastra Feminis
a. Ragam Kritik Feminis
Menurut
Rosemarie Putnam Tong ada delapan ragam kritik sastra atau keragaman
pemikiran feminis yaitu (1) feminis liberal, (2) feminis radikal, (3) feminis
marxis dan sosialis, (4) feminis psikoanalisis dan gender, (5) feminis
eksistensialis, (6) feminis posmodern, (7) feminis multikultural dan global,
dan (8) ekofeminisme.
Kritik
sastra feminis secara sederhana adalah sebuah kritik sastra yang memandang
sastra dengan kesadaran khusus akan adanya jenis kelamin yang banyak
berhubungan dengan budaya, sastra dan kehidupan manusia. Kritik sastra feminis
bukan berarti pengkritik wanita, atau kritik tentang wanita, atau kritik
tentang pengarang wanita. Arti sederhana yang dikandungnya adalah pengkritik
memandang karya sastra dengan kesadaran khusus bahwa ada jenis kelamin yang
banyak berhubungan dengan budaya, sastra, dan kehidupan (Satoto, 2000).
Tong (2006), meyakinkan pembaca bahwa apapun
kelemahannya tujuan umum dari feminisme liberal adalah untuk menciptakan
masyarakat yang adil “dan peduli tempat kebebasan berkembang.” Hanya di dalam
masyarakat seperti itu perempuan dan juga laki-laki dapat mengembangkan diri.
Willis mencatat bahwa penekanan
kumulatif feminisme liberal adalah pengakuan atas kebutuhan perempuan
yang semakin mendesak untuk menghancurkan patriarki dan kapitalisme, serta
penguasa atas kemampuan yang seharusnya dimiliki perempuan untuk dapat berhasil
di dalam “sistem” yang ada. Karena laki-laki, seperti juga perempuan,
harus memperlakukan satu sama lain sebagai seorang yang setara, sebagai manusia
yang sama berharganya untuk dicintai.
Gerakan
feminisme radikal, beranggapan bahwa faktor utama yang menjadi penyebab
pembagian kerja secara seksual adalah sistem patriarkal di mana laki-laki
mengendalikan perempuan dengan kekuasaan. Gerakan feminisme radikal dapat
didefinisikan sebagai gerakan perempuan yang berjuang di dalam realitas seksual,
dan kurang pada realitas-realitas yang lainnya. Sebagaimana yang dikemukakan
oleh Ilyas bahwa gerakan ini terutama
melembaga di dalam masyarakat. Kelompok yang paling ekstrem dari gerakan kaum
feminis radikal bahkan berusaha memutuskan hubungannya dengan laki-laki.
Lebih
jauh Tong menguraikan bahwa masyarakat yang terbaik adalah masyarakat yang
androgin, yang setiap individu laki-laki dan perempuan di dalamnya dapat
merangkul nilai-nilai secara historis adalah feminin, seperti cinta,
kelembutan, kemauan saling berbagi, saling menjaga, seantusias mereka merangkul
nilai-nilai ketegasan, struktur rasa memiliki, dan status yang secara historis
adalah maskulin.
Sementara,
Ilyas, menggolongan bahwa feminisme Marxis berpendapat bahwa ketinggalan yang dialami
oleh perempuan bukan disebabkan oleh tindakan individu secara sengaja tetapi
akibat dari struktur sosial, politik, dan ekomoni yang erat kaitannya dengan
sistem kapitalisme. Menurut mereka, tidak mungkin perempuan dapat memperoleh
kesempatan yang sama seperti laki-laki jika mereka tetap hidup dalam masyarakat
yang berkelas.
Feminisme
marxis dan sosialis, sementara itu, percaya bahwa opresi terhadap perempuan
bukanlah hasil tindakan sengaja dari satu individu, melainkan produk dari
struktur politik, sosial dan ekonomi tempat individu itu hidup, ingin
menciptakan dunia tempat perempuan dapat mengalami dirinya sebagai manusia yang
utuh, sebagai manusia yang terintegrasi dan bukan terfragmentasi, sebagaimana
orang yang dapat berbahagia, bahkan ketika mereka tidak mampu.
Gerakan
feminisme sosialis merupakan sintesis dari feminisme Marxis dan feminisme
radikal. Asumsi yang digunakan feminis sosialis adalah hidup dalam masyarakat
yang kapitalistik bukan satu-satunya penyebab utama keterbelakangan perempuan.
Gerakan feminisme lebih difokuskan kepada penyadaran kaum perempuan yang tidak
sadar bahwa mereka adalah kelompok yang ditindas oleh sistem patriarki (Ilyas,
1997).
Feminis
gender Tong menyatakan bahwa anak laki-laki dan perempuan
tumbuh menjadi laki-laki dan perempuan (dewasa) dengan nilai-nilai serta
kebaikan gender yang khas yang (1) merefleksikan pentingnya keterpisahan pada
kehidupan laki-laki dan pentingnya keterikatan pada kehidupan perempuan dan (2)
berfungsi untuk memberdayakan laki-laki dan melemahkan perempuan dalam
masyarakat patriarkal.
Feminisme
eksistensialisme dikatakan oleh Beauvoir bahwa laki-laki dinamai “laki-laki” sang Diri, sedangkan “perempuan” sang Liyan. Jika Liyan adalah ancaman
bagi Diri, maka perempuan adalah ancaman bagi laki-laki.
Feminis
posmodern mengakui bahwa sangatlah sulit untuk menentang tatanan simbolik,
ketika kata-kata yang tersedia yang dapat menantang tatanan itu adalah
kata-kata yang dilahirkan oleh tatanan tersebut (Tong 2006:291).
Feminisme
multikultural dan global menghadirkan tantangan kepada feminisme: bagaimana
menyatukan perempuan dalam, melalui, alih-alih perbedaan mereka. Secara umum,
feminisme multikultural dan global telah menawarkan dua cara kepada perempuan
untuk mencapai kesatuan di dalam keragaman.
Ekofeminisme
adalah varian yang relatif baru dari etika ekologis. Yaitu ada hubungan
langsung antara opresi terhadap perempuan dan opresi terhadap alam.
Dengan begitu, kritik sastra feminis secara
sederhana adalah sebuah kritik sastra yang memandang sastra dengan kesadaran
khusus akan adanya kelamin yang banyak berhubungan dengan budaya, sastra dan
kehidupan manusia. Kritik satra feminis bukan berarti pengkritik wanita, atau
kritik tentang wanita, atau kritik tentang pengarang wanita. Arti sederhana
yang dikandung adalah pengkritik memandang karya sastra dengan kesadaran khusus
bahwa ada jenis kelamin yang banyak berhubungan dengan budaya, sastra, dan
kehidupan.
b. Peran dan Sikap Perempuan
Dalam
sistem patriarki, laki-laki mempunyai hak memerintah. Kata “patriarki” sendiri
berarti kekuasaan sang ayah. Ini berarti bahwa ayah berkuasa atas semua
keluarganya, semua harta milik serta sumber-sumber ekonomi, dan sebagai pembuat
semua keputusan penting (Bhasin dan Khan, 1995).
Dalam
sistem ini tugas wanita dalam rumah tangga sangat berat. Wanita yang bekerja di
luar rumah tetap harus menyelesaikan pekerjaan rumah tangga seperti memasak,
membersihkan, mencuci, merawat anak dan lain-lain. Jadi wanita menjalani kerja
rangkap, beban ganda [beban pekerjaan dengan upah dan pekerjaan tanpa upah
dalam rumah tangga (Bhasin dan Khan, 1995).
Feminisme
tidak meremehkan peran ibu rumah tangga atau pekerjaan rumah tangga. Salah satu
perjuangan feminis adalah supaya pekerjaan rumah tangga diakui serta dihargai,
supaya wanita yang melakukannya akan diakui, dihargai, dan dihormati. Dengan
harapan kaum laki-laki pun mau melakukan pekerjaan rumah tangga. Hal ini
sejalan dengan pendapat feminis marxis kontemporer bahwa bagaimana institusi keluarga
berkaitan dengan kapitalisme, bagaimana pekerjaan rumah tangga diremehkan
sebagai bukan pekerjaan yang sungguh-sungguh, dan bagaimana perempuan secara
umum, diserahi pekerjaan yang paling membosankan dengan upah yang rendah.
Wanita
tidak harus terikat di rumah. Mary Wollstonecraft dalam A Vincation of the
Rights of Woman, memertegas dengan menyatakan, bahwa lingkungan serta
kehidupan di rumah bukanlah penjara bagi wanita (Djajanegara, 2000). Ini
berarti wanita bebas memilih peranan yang sesuai dengan pilihannya sendiri,
menjadi ibu rumah tangga atau wanita karir.
Feminis
tidak membenci laki-laki, yang dibenci adalah perlakuan laki-laki yang
menganggap wanita sebagai objek. Untuk menduduki posisi sebagai subjek, wanita
harus mencapai kemandirian. Satu di antara jalan yang dapat ditempuh adalah
dengan memberi kesempatan bagi wanita untuk mendapatkan pendidikan yang
memungkinkan dia mengasah daya pikirnya, sehingga dia akan mampu mengembangkan
dirinya lebih lanjut, yakni mencapai kemandirian ekonomis. Hidupnya tidak
bergantung lagi pada laki-laki, khususnya dalam hal intelektualitas dan
keuangan.
Feminis,
sementara itu menurut Djajanegara
menganjurkan wanita untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingan mereka
dengan gigih, berani mengajukan pendapat, dan tidak bersikap pasif. Dalam
hubungan dengan suami, istri berhak untuk mengajukan pendapatnya sendiri, tidak
asal menuntut suami demi memertahankan perkawinan yang serasi. Istri dapat
meninggalkan suami jika tidak tahan lagi dengan sikap suaminya.
Leclerc,
berpendapat tindakan buka mulut ini memang harus dilakukan karena kebungkaman
merupakan kekeliruan paling besar di pihak wanita. Pembebasan wanita dari
penindasan laki-laki “hanya mungkin terjadi apabila mereka berbicara”, memunyai
sudut pandang sendiri mengenai kehidupan, masyarakat, pekerjaan, dan
sebagainya.
c. Citra Wanita
Citra (Ing. Image) ialah
gambar rekaan yang ditimbulkan oleh daya khayal seorang seniman pada khususnya
dan setiap orang pada umumnya. Citra merupakan buah hasil penginderaan (Ing.
Sensation), pengamatan kesan daya khayal yang dipadukan secara tepat
(Ensiklopedi II, 1991:150). Standar mengenai apa yang patut atau tidak patut
dilakukan oleh perempuan bahkan konstruksi mengenai perempuan ideal, sebuah persoalan
yang kerap didukung oleh bias tradisi bukan lagi sajian.
Citra
perempuan mengandung dua pengertian yaitu milik atau kepunyaan perempuan. Citra
novel berati gambaran visual atau kesan mental yang ditimbulkan oleh kata,
frasa, atau kalimat yang merupakan unsur dasar yang khas dalam novel. Jadi
citra perempuan dalan novel berarti gambaran visual atau kesan mental tentang
diri dan kepribadian perempuan yang terwujud dalam tingkah laku keseharian yang
terdapat dalam karya sastra atau novel (Subandiyah,1996).
Citra
wanita terbagi menjadi dua yaitu, citra wanita tradisional dan citra wanita
mandiri. Citra wanita tradisional adalah wanita yang selalu bergantung kepada
pria, lemah, dan bersifat mendorong kemajuan pria sebaliknya merendahkan diri sendiri.
Dapat disimpulkan bahwa wanita yang memerankan peran tradisional cenderung
selalu berada di belakang pria, tidak sejajar dengan pria, bahkan direndahkan
oleh pria dan memiliki sifat ketergantungan kepada suami dan orang tua.
Sementara itu, citra wanita mandiri adalah wanita yang tidak tergantung kepada
siapapun, dapat mencukupi kebutuhannya sendiri. Dengan demikian, wanita mandiri
merupakan wanita yang pantas. Namun, dengan masih kuatnya nilai-nilai
tradisional seperti dijelaskan di atas, maka wanita memiliki peran ganda, yaitu
wanita sebagai ibu rumah tangga dan sebagai karyawati.
Menurut
psikolog Sandra Bem, Seseorang yang monoandrogem memunyai kualitas tradisional
perempuan yang penuh penyayang, pengasih, lembut, sensitif, berkemampuan untuk
berhubungan dengan yang lain, dan mampu bekerja sama dan pada saat yang sama
juga memiliki kualitas laki-laki tradional agresif, berkemampuan memimpin,
berinisiatif, dan mampu bersaing. Oleh karena itu, Dalam
feminis radiakal--libertarian menolak perempuan untuk tetap pasif (penuh
kasih sayang, penurut, tanggap, terhadap simpati dan persetujuan, ceria, baik
dan ramah (Tong 2006; ).
Kritik feminis
dengan demikian, dapat dilihat yang telah dikerjakan oleh Anisa Fajriana
Oktasari dengan judul Pemikiran Ratna Indraswari Ibrahim Mengenai
Sosial dalam Novel-novelnya.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat
berikut ini.
Pemikiran Ratna
Indraswari Ibrahim mengenai sosial dalam novel-novelnya, difokuskan pada peranan perempuan dalam masyarakat.
Masalah peranan perempuan dalam masyarakat banyak dibahas
dalam novelet Batu Sandung. Novelet ini banyak menceritakan
tentang biografi pengarang sendiri. Mulai dari tokoh Irina sebagai tokoh
sentral dalam novel ini yang mengalami cacat fisik, menjalani masa kuliah,
meninggalnya sang ayah hingga memimpin perusahaan. Seolah menceritakan
perjalanan hidup sang pengarang dan bagaimana dia mencurahkan isi hatinya dalam
novelet dengan menambahkan imajinasinya dalam karya.
Saya cuma terdiam. Sebetulnya sedih pada waktu itu.
Dengan kaki yang lumpuh, saya jadi terpencil. Tapi, saya tetap menegakkan
kepala seperti anjuran papa. Saya tutup album ini. Ya, sebuah goresan silam
memang. (D1.2.3.4).
Ketika semua anak-anak bermain, saya cuma berteman
dengan dongeng-dongeng lewat buku. Sewaktu remaja kalau yang lainnya asyik
kemping atau pacaran, saya mesti belajar teori ekonomi bersama Papa. Dan
sekarang, ketika teman-teman sedang santai, saya mesti ikut Papa ke
perusahaannya untuk belajar apa saja karena saya sadar sekali masa depan saya
cuma di sana. (D1.2.3.6-7).
Kini saya di perguruan yang sama dengan orang-orang
dewasa yang normal. Saya tidak menemukan kesulitan belajar. Ini mungkin satu
kebahagiaan, mungkin satu kebanggaan. Karena dengan perbedaan ini saya kadang gugup dan sulit berhubungan dengan
orang lain. Kegugupan itu tidak berhenti mencuat sampai saat ini, sekalipun
saya tahu kehidupan masa depan saya harus lebih banyak saya tunjang dengan
logika. (D1.2.3.4).
Dalam kutipan di atas terlihat bahwa Irina mengalami
masalah dengan kehidupan sosialnya. Dengan keterbatasan fisiknya Irina menjadi
sosok yang tidak percaya diri. Namun, Irina dapat menutupinya dengan cara
belajar yang baik dalam perkuliahannya. Irina berjuang untuk lebih sempurna
daripada mereka yang memang benar-benar sempurna secara fisik. Tokoh Irina ini
merupakan pencerminan dari diri pengarang.
Bila saya telusuri, hidup ini sebetulnya seluruhnya
adalah tragedi. Mungkin kedengarannya aneh bahwa kecacatan terkadang bisa jadi
sahabat yang pas buat saya. Dengan asyiknya saya bisa bermain dengan waktu,
tanpa kontak dengan orang lain. (D1.2.3.12).
Di lain pihak Irina dapat mengambil hikmah dari kecacatannya. Dia bisa
lebih banyak meluangkan waktu, tanpa diganggu dengan rutinitas kehidupan sosial
orang lain. Berikut ini akan dibahas bagaimana sosok Irina dalam kehidupan
sosialnya.
Irina merupakan sosok yang banyak terinspirasi dari diri
pangarang novel itu sendiri. Pengarang ingin menjelaskan bahwa Irina adalah
dirinya dalam bentuk fiksi. Seperti pendapat Goenawan Mohamad bahwa harga sebuah
kata, ditentukan oleh tebalnya lapisan penderitaan yang membuat kata itu
ditulis. Sebuah cerpen dan novel, adalah pencerminan pribadi; sebuah komposisi
dari pengalaman yang tulen. Justru karena cerpen dan novel mendapatkan
kekuatannya dari sana, ia tidak perlu tersisih dari perhatian. Di sampingnya,
sang pengarang seharusnya tak perlu lagi menunjukkan diri.
Hari-hari berikutnya saya merasa malas untuk berhubungan dengan siapa saja.
Saya bunuh waktu dengan belajar keras. (D1.2.3.18).
Irina seorang perempuan pekerja keras. Dia tidak pernah
meluangkan waktu dengan percuma, belajar dan membaca adalah kegemarannya. Irina
memiliki kekurangan dengan kecacatan tubuhnya. Namun, kekurangan itu dia
jadikan untuk menjadi pribadi yang mandiri.
“Saya bisa berdiri sendiri,” kata saya tersinggung. Mama tiba-tiba seperti
kelihatan letih mendengar ucapan saya. (D1.2.3.25).
Meskipun dalam keterbatasannya, Irina tidak
ingin menjadi orang yang harus dilinduni sepanjang kehidupan pribadi dan
sosialnya. Dalam keterbatasannya, Irina dapat tumbuh sesuai perkembangan
masyarakat.
Bukankah yang bisa dilindungi terus-menerus hanya orang-orang
yang dianggap tidak bisa berkembang menjadi dewasa? (D1.2.3.39).
Dalam keberadaannya di masyarakat Irina dapat hidup mandiri, menyelesaikan
kuliahnya, memimpin perusahaan dan berperan dalam masyarakat. Dalam
kekurangannya Irina merupakan sosok wanita mandiri, tidak tergantung kepada
orang lain, dapat sukses dalam kehidupannya, dan tidak putus asa. Sosok seperti
ini mencerminkan perempuan dengan sikap feminis yang baik. Dengan demikian,
Sugishastuti berpendapat bahwa paham feminisme merupakan paham yang timbul di
kalangan para wanita untuk mandiri sebagai subjek, baik berdasarkan kritik
maupun berdasarkan kemandirian individu.